Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih sering terjadi karena calon pengantin yang belum memahami bahwa suami istri haruslah saling melindungi. KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Indonesia telah mengatur tentang KDRT dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam pasal 5 UU No. 23 Tahun 2004 diatur bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya.
Bentuk KDRT dikategorikan dalan 4 bentuk berikut ini:
1) Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
2) Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan hilangnya rasa percaya diri.
3) Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4) Penelantaran rumah tangga dimana kepala keluarga tidak memberikan nafkah baik lahir maupun batin.
KDRT di Masa Pandemi
Beberapa orang merasakan hidup menjadi lebih sulit, kesehatan terancam dan ekonomi menjadi harus lebih irit. Hal ini yang akhirnya menjadi penyebab terjadinya KDRT karena beban rumah tangga menjadi lebih banyak, munculnya rasa takut, stress, frustasi.
Akhirnya wanita yang sering menjadi korban KDRT. Sebagian besar akar masalah KDRT adalah relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. “Laki-laki umumnya memiliki power dan kontrol terhadap anggota keluarga.”
Menurut data yang dimiliki oleh Komnas Perempuan dari 29 Februari hinga 5 Juni 2020 sudah ada 710 kasus kekerasan, lalu sebanyak 465 korban menunjukkan KDRT, kasus kekerasan yang paling banyak terjadi berupa kekerasan secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran.
Setiap menit, setidaknya 24 orang menjadi korban pemerkosaan, kekerasan fisik, atau penguntitan oleh pasangan masing-masing. Di Indonesia, survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan terhadap 2.285 responden menunjukkan bahwa pandemi membuat perempuan semakin rentan mengalami kekerasan.
80% responden perempuan dengan penghasilan kurang dari lima juta rupiah per bulan berkata kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama pandemi—terutama kekerasan fisik dan seksual. Sementara itu, kurang dari 10% korban melaporkan kasusnya. Sebagian besar memilih diam—dan hampir 69% responden tidak menyimpan kontak layanan pegaduan.
BACA JUGA:
- 5 Ciri Pacaran yang Sehat Sebelum Menikah
- Pernikahan Dini Rentan KDRT, Ini Buktinya
- Menghilangkan Trauma KDRT pada Calon Istri
Cari Bantuan
Sayangnya, banyak korban KDRT memilih diam ketika mendapat perlakuan kasar. Seringkali anak menjadi alasan yang kuat untuk mempertahankan rumah tangga. Mestinya korban KDRT bisa mencari bantuan agar perlakuan KDRT tidak semakin parah, bahkan berpotensi mengarah pada kematian korban.
Masyarakat dan pemerintah memiliki bertanggungjawab bersama dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Pemerintah merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga. Menyelengarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender. Termasuk kepada calon pengantin dalam kelas pra nikah supaya korban berani bicara dan masyarakat yang dimintai bantuan bisa menolong.
Terbaru, korban dapat mengirim sinyal permintaan bantuan lewat video call dengan cara jempol tangan dilipat ke telapak tangan, lalu digenggam oleh keempat jari lainnya. Bagi orang-orang yang menerima pesan atau sinyal serupa, Komnas Perempuan merekomendasikan agar penerima pesan secara konsisten menghubungi korban untuk mengecek keadaan mereka. Hubungi korban dengan menggunakan segala bentuk komunikasi seperti SMS, chat, media sosial, email, dan lain-lain. Tanyakan hal-hal yang bersifat umum jika akun korban berpotensi diakses pelaku, seperti ‘apa kabar?’, ‘gimana keadaanmu?’, ‘mau aku telepon?’
Untuk menghemat waktu dan memudahkan korban menjawab tanpa mengundang kecurigaan pelaku, penerima pesan juga bisa memberikan pertanyaan tertutup atau yang jawabannya “ya” atau “tidak”. Korban juga bisa menjawab dengan anggukan (untuk “ya”) dan gelengan (untuk “tidak”). Korban pun disarankan untuk menggunakan earphone agar pertanyaan tidak terdengar oleh pelaku kekerasan.
Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan kepada korban termasuk, “apakah kamu terluka?”, “apakah luka sudah diobati?”, “apakah kamu perlu diantarkan ke dokter?”, atau “bolehkah aku menghubungi anggota keluargamu?” Penerima pesan dapat mendengarkan apa yang dibutuhkan korban dan menelepon penegak hukum jika korban meminta atau jika kondisi telah darurat.
Laporkan Pelaku KDRT
Di Indonesia, kasus kekerasan dalam rumah tangga dapat dilaporkan ke lembaga-lembaga berikut:
- Kepolisian: 112;
- Hotline LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan): 081388822669 (WA only) atau PengaduanLBHAPIK@gmail.com;
- Hotline P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak): 081317617622;
- Yayasan Pulih: 08118436633;
- KPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak): 0211500771.
Di Komnas Perempuan, terdapat Unit Pengaduan dan Rujukan (UPR) yang berfungsi untuk menerima pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Selama masa pandemi, laporan dilakukan secara online dengan mengisi form daring. Dari form tersebut, Komnas Perempuan akan menindaklanjutinya dengan menilai kebutuhan korban dan merujuk korban ke lembaga layanan seperti rumah aman, bantuan hukum, atau psikolog.
Pelaku KDRT dapat dikenai sanksi pidana baik berupa kurungan (lima tahun sampai 15 tahun) maupun denda (Rp 3.000.000 sampai Rp 500.000.000) sebagaimana diatur dalam pasal 44 sampai dengan pasal 53 Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga.