Rahmah Afifah Nurwahidah – Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada pertengahan tahun 2023 menyebutkan bahwa ada sebanyak 55.000 anak yang mengajukan dispensasi nikah di bawah umur. Prevalensi perkawinan anak di Indonesia ini berada di angka 8,06%. Bahkan jika membongkar data spesifik lainnya, masyarakat pun dapat melihat bahwa proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau berstatus hidup bersama sebelum umur 15 tahun adalah sebesar 0,46% pada tahun 2022. Sedangkan proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau berstatus hidup bersama sebelum umur 18 tahun adalah sebesar 21,76% dan dilansir dari laman Badan Pusat Statistik (BPS). Tingginya angka perkawinan anak ini kiranya cukup menjelaskan fenomena negara Indonesia kini yang menduduki posisi peringkat ke-2 ASEAN dalam kasus perkawinan anak.
Baca Juga: Kalau Sayang, Hindari Pernikahan Dini karena Berisiko Kanker Serviks
Perkawinan anak ataupun yang disebut sebagai pernikahan dini ini bukanlah hal yang bisa dibanggakan oleh sebuah negara karena apabila hendak mengeksplorasi lebih mendalam tentang kasus ini dapat terbuka tabir bahwa kasus ini merupakan sebuah praktik yang merugikan dan harus dihentikan. Bukan tanpa alasan yang jelas, sebab fenomena ini terbukti telah membawa dampak negatif bagi diri sendiri (pengantin), masyarakat bahkan hingga negara yang menggantungkan masa depannya kepada para pemuda/pemudi.
Menelusuri Dampak Pernikahan Dini hingga Kehamilan Muda
Adapun dampak yang mempengaruhi diri sendiri misalnya pertama, pernikahan dini atau pernikahan anak ini dapat mengganggu pemenuhan hak dan kesejahteraannya. Anak-anak yang menikah dini seringkali harus putus sekolah, mengalami kehamilan dan persalinan yang berisiko, Kedua, yang tidak bisa dihindari juga dapat mengurangi peluang untuk berkembang dan berdaya, karena rendahnya pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Pernikahan dini atau pernikahan anak dapat menyebabkan kemiskinan, karena sulit mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak. Ketiga, berdampak pada kesehatan fisik dan mental, baik bagi diri sendiri maupun anak-anak yang dilahirkan. Pernikahan dini dapat meningkatkan risiko terkena penyakit seperti kanker, jantung, diabetes, dan stroke, karena kurangnya gizi dan perawatan kesehatan yang memadai, juga dapat menyebabkan depresi, kecemasan, dan PTSD karena mengalami perubahan yang drastis dalam hidupnya. Termasuk dalam bahasan ini adalah turut meningkatnya resiko stunting bagi anak yang dilahirkan.
Dampak berikutnya terkait perkawinan anak dengan hubungannya pada aspek sosial atau kemasyarakatan. Pernikahan dini atau pernikahan anak dapat menyebabkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara pasangan suami istri, yang dapat berujung pada kekerasan dalam rumah tangga baik secara fisik maupun psikologis, tentunya dapat berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan keluarga hingga perceraian. Perkawinan anak dapat menghambat akses dan kualitas pendidikan bagi anak-anak, khususnya perempuan, yang merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Dampak negatif pernikahan dini atau perkawinan anak bagi masa depan sebuah negara adalah pertama, menyebabkan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, yaitu pertumbuhan penduduk yang melebihi kapasitas sumber daya dan lingkungan yang tersedia. Hal ini akan menyebabkan masalah lingkungan, seperti deforestasi, pencemaran, dan perubahan iklim. Selain itu, dapat menyebabkan masalah ekonomi, seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Kedua, fenomena ini menyebabkan hilangnya potensi generasi emas, yaitu generasi yang memiliki kualitas dan kuantitas yang optimal untuk memajukan sebuah negara. Ketiga, pernikahan dini dapat menyebabkan stunting nasional.
Baca Juga: DAMPAK PERNIKAHAN DIUSIA DINI
Fenomena Tragis Anak Penderita Stunting di Indonesia
Sebagai sebuah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak, stunting terjadi disebabkan oleh kekurangan gizi dalam jangka panjang, yang bisa disebabkan oleh malnutrisi, infeksi, atau faktor genetic dan berdampak jauh terhadap perkembangan kognitif, dan produktivitas anak di masa depan. Dalam skala yang lebih luas, stunting juga berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara, sekitar 2-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya. Begitu tragisnya kondisi ini berdasarkan data Riskesdas 2018 bisa didapatkan hasil prevalensi stunting di Indonesia mencapai 30,8%, yang artinya hampir sepertiga dari anak-anak di bawah lima tahun mengalami stunting. Angka ini masih jauh dari target global yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO), yaitu 20% pada tahun 2025.
Status Hubungan antara Pernikahan Dini, Kehamilan dan Stunting
Pernikahan dini dapat menyebabkan stunting karena sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa para remaja (ibu dibawah umur) masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia 21 tahun. Jika mereka sudah menikah pada usia yang cenderung terlalu muda alias remaja, misalnya 15 atau 16 tahun, maka tubuh si ibu akan mengalami perebutan zat gizi dengan bayi yang dikandungnya. Bayangkan ketika dalam kondisi ini nutrisi si ibu tidak mencukupi selama kehamilan, bayi akan lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan sangat berisiko terkena stunting. Sebab kondisi gizi ibu saat hamil dan menyusui, serta asupan gizi anak pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) haruslah terjamin. Artinya bukan hanya ibu namun juga dari janin hingga anak yang dilahirkannya berusia 23 bulan, kebutuhan gizi keduanya sangat tinggi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan otak dan organ tubuh lainnya.
Pernikahan dini dapat menyebabkan stunting karena kurangnya persiapan pasangan suami istri mengenai asupan gizi yang cukup semasa kehamilan, kematangan psikologis dan organ reproduksi, serta pengetahuan tentang pola asuh yang benar. Pada wanita hamil ketika berusia di bawah 18 tahun, ternyata menurut segi kesehatannya situasi organ reproduksinya belum matang. Sebagai contohnya adalah organ rahim yang belum terbentuk sempurna sehingga berisiko tinggi mengganggu perkembangan janin dan bisa menyebabkan keguguran. Pernikahan dini biasanya terjadi karena faktor sosial, budaya, agama, ekonomi, atau paksaan.
Aksi Nyata Hentikan Kasus Pernikahan Dini, Kehamilan dan Stunting
Berkenaan dengan pernikahan dini, terdapat beberapa cara untuk mencegah pernikahan dini mulai dari menyediakan pendidikan formal yang memadai bagi anak-anak, terutama perempuan, agar mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengembangkan potensi dan karier mereka. Menyosialisasikan tentang pendidikan seks dan hak-hak reproduksi kepada anak-anak, orang tua, dan masyarakat, agar mereka lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keputusan seksual mereka. Melibatkan tokoh agama, adat, dan masyarakat dalam mengubah norma dan budaya yang mendukung pernikahan dini, serta memberikan bimbingan dan dukungan kepada calon pengantin dan pasangan muda.
Di Indonesia, pemerintah mengatur usia minimum pernikahan sesuai dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menetapkan bahwa usia minimum pernikahan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Namun, BKKBN memiliki anjuran tersendiri yang lebih tinggi dari aturan pemerintah, yaitu 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Anjuran ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, seperti usia psikologis, kematangan mental, dan potensi masalah kesehatan yang dapat dialami oleh remaja yang menikah di bawah umur 20 tahun, salah satunya adalah risiko tinggi kanker serviks.
Sedangkan permasalahan stunting, beberapa cara untuk menjaga kehamilan dan mencegah stunting adalah: Melakukan pemeriksaan kesehatan dan gizi sebelum menikah, terutama bagi calon pengantin yang berisiko melahirkan anak stunting, seperti yang kurus, anemia, atau memiliki penyakit bawaan. Melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin, minimal 6 kali selama masa kehamilan, untuk memantau kondisi ibu dan janin, serta mendeteksi adanya komplikasi atau masalah yang dapat mengancam kesehatan mereka.
Mengonsumsi makanan bergizi seimbang dan suplemen yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan, seperti asam folat, kalsium, vitamin D, protein, dan zat besi, untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ibu dan janin, serta mencegah anemia dan kekurangan gizi. Menghindari rokok, alkohol, obat-obatan, dan zat-zat berbahaya lainnya yang dapat merusak kesehatan ibu dan janin, serta menyebabkan kelainan bawaan, gangguan pertumbuhan, atau kematian pada janin.
Baca Juga: Yuk Cegah Stunting dengan Atur Pola Konsumsi
BKKBN Luncurkan Aplikasi Elsimil
Untuk mengatasi masalah pernikahan dini, persiapan kehamilan hingga stunting ini, pemerintah Indonesia melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah meluncurkan sebuah aplikasi bernama Elsimil, yang merupakan singkatan dari Elektronik Siap Nikah dan Siap Hamil. Aplikasi Elsimil tidak hanya membantu calon pengantin dan pasangan usia subur untuk siap nikah dan hamil, tetapi juga untuk mencegah dan menangani masalah stunting yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Maka aplikasi Elsimil hadir sebagai salah satu solusi untuk mencegah dan mengatasi pernikahan dini dan stunting di Indonesia. Aplikasi ini memberikan informasi yang akurat dan terpercaya tentang kesiapan menikah dan hamil, serta faktor-faktor risiko stunting. Intinya melalui aplikasi ini, telah memberikan bimbingan dan dukungan yang dibutuhkan oleh calon pengantin, pasangan usia subur, ibu hamil, ibu pasca persalinan, dan balita.
Elsimil merupakan sebuah terobosan yang inovatif dan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Dengan menggunakan aplikasi ini, calon pengantin dapat mengetahui kondisi kesehatan dan gizi mereka secara akurat dan mudah, serta mendapatkan bantuan dan bimbingan dari petugas yang kompeten. Aplikasi ini juga dapat menjadi media edukasi yang efektif dan menarik bagi calon pengantin, yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mereka mengenai pentingnya kesehatan reproduksi, keluarga berencana, dan nutrisi.
Selain itu, keberadaan Elsimil dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan Indonesia di masa depan. Dengan adanya aplikasi ini, diharapkan dapat tercipta generasi emas Indonesia, yaitu generasi yang sehat, cerdas, dan produktif, yang dapat menjadi motor penggerak kemajuan bangsa. Aplikasi ini juga dapat menjadi salah satu upaya untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya tujuan nomor dua, yaitu menghapuskan kelaparan, mencapai ketahanan pangan, meningkatkan gizi, dan mendorong pertanian berkelanjutan.
Membongkar Fitur Elsimil: Langkah Penurunan Ketiga Fenomena
Kemunculan Elsimil menjadi sebuah inovasi digital untuk media pemberian edukasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang holistik dan terintegrasi kepada masyarakat, khususnya calon pengantin. Elsimil ini dirancang demi membantu pengguna aplikasi untuk mempersiapkan pernikahan dan kehamilan yang sehat dan berkualitas, serta mencegah stunting pada anak melalui fitur unggulannya, seperti media edukasi, petugas pendamping, dan alat screening.
Pertama, media edukasi yang menyajikan informasi-informasi penting dan aktual tentang kesehatan reproduksi, gizi, dan stunting, serta tips dan trik untuk mempersiapkan pernikahan dan kehamilan yang sehat dan berkualitas. Informasi ini disampaikan dalam berbagai format yang menarik dan mudah dipahami, seperti artikel, video, podcast, dan kuis. Dengan media edukasi ini, pengguna aplikasi dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mereka tentang pentingnya kesehatan reproduksi bagi kesejahteraan keluarga dan generasi mendatang.
Kedua, petugas pendamping yang akan memberikan bimbingan, konseling, dan dukungan kepada pengguna aplikasi, baik secara online maupun offline. Petugas pendamping ini terdiri dari tenaga kesehatan, konselor, ulama, dan tokoh masyarakat yang kompeten dan profesional. Mereka akan membantu pengguna aplikasi untuk mengatasi berbagai permasalahan dan tantangan yang mungkin dihadapi dalam proses pernikahan dan kehamilan, serta memberikan motivasi dan inspirasi untuk menjalani hidup yang lebih sehat dan bahagia.
Ketiga, alat screening yang akan mendeteksi faktor risiko stunting pada calon pengantin, seperti anemia, infeksi, penyakit bawaan, dan lain-lain. Hasil screening ini akan menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan sertifikat nikah dari Kementerian Agama. Dengan alat screening ini, pengguna aplikasi dapat mengetahui kondisi kesehatan mereka secara lebih akurat dan mendapatkan rekomendasi tindakan yang sesuai untuk mencegah atau mengatasi faktor risiko stunting. Hal ini akan berdampak positif bagi kesehatan ibu dan anak, serta mengurangi angka stunting di Indonesia.
Baca Juga: BKKBN Gandeng Kemenparekraf Ciptakan Produk Protein Hewani untuk Cegah Stunting
Kesimpulannya pernikahan dini harus dihindari karena membawa banyak dampak buruk, salah satunya menyebabkan stunting nasional. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan pernikahan dini, seperti memberikan edukasi, advokasi, bantuan hukum, dan perlindungan bagi anak-anak, khususnya perempuan, yang berisiko atau menjadi korban pernikahan dini. Selain itu, pemerintah dan masyarakat juga harus meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dan gizi bagi ibu hamil, menyusui, dan anak-anak, serta memperkuat sistem pemantauan, evaluasi terhadap program-program yang berkaitan dengan stunting sampai pada pemanfaatan aplikasi Elsimil tersebut. (*)
Referensi:
Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data/0000/data/1358/sdgs_5/1
RI Darurat Pernikahan Usia Dini, 55 Ribu Anak Ajukan … – detikHealth. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6717556/ri-darurat-pernikahan-usia-dini-55-ribu-anak-ajukan-dispensasi-nikah.
Perlu Tahu, Pernikahan Dini Penyebab Masalah Stunting di Indonesia. https://lifestyle.kompas.com/read/2020/08/27/171542920/perlu-tahu-pernikahan-dini-penyebab-masalah-stunting-di-indonesia.
BKKBN.
https://www.bkkbn.go.id/berita-bkkbn-jelaskan-sertifikat-elsimil-pemeriksaan-kesehatan-calon-pengantin-untuk-cegah-stunting.