Oleh: Retno Dewanti
Langkah upaya dalam beberapa tahun ini sebenarnya sudah dijalankan pemerintah untuk mencegah stunting. Stunting merupakan ancaman bagi kualitas manusia. Apa itu stunting. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Stunting berdampak buruk antara lain gagal tumbuh dan hambatan perkembangan koginitif serta motorik yang kemudian nantinya dapat menurunkan kapasitas intelektual dan gangguan metabolisme yang berdampak pada produktivitas.
Prevalensi stunting selama periode 10 Tahun terakhir menunjukkan tidak adanya perubahan yang signifikan. Di Tahun 2021 berdasarkan studi status gizi Indonesia (SSGI), stunting masih di angka 24,4 persen artinya 1 dari empat anak Indonesia stunting. Angka standar yang ditoleransi WHO adalah dibawah 20 persen. Presiden Joko Widodo menargetkan prevelensi stunting di Tahun 2024 adalah 24,4 persen.
Artinya per tahun adalah turun 2,7 persen. Untuk mencapai target tersebut perlu adanya intervensi holistik yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi spesifik adalah intervensi yang dilakukan pada masa 1000 HPK, pada ibu sebelum dan masa kehamilan, biasanya dari sisi kesehatan. Sedangkan intervensi sensitif merupakan upaya yang dilakukan di luar upaya spesifik, lebih kepada upaya Kerjasama lintas sektor, intervensi terpadu dalam upaya pembangunan penanganan penurunan stunting.
Kali ini kita akan bicara tentang intervensi spesifik. Nah, salah satu yang bisa kita lakukan sejak awal adalah pola konsumsi. Kebiasaan pola konsumsi yang keliru dapat mengakibatkan masalah gizi seperti Kurang Energi Kronis (KEK) yang bisa menyebabkan masalah seperti infeksi dan anemia. Anemia bisa menyebabkan gangguan perkembangan reproduksi kesehatan.
BACA JUGA: Anemia Saat Hamil Memperbesar Risiko Lahirkan Anak Stunting
Remaja sebagai next generasi Indonesia, perlu tahu gimana pola konsumsi gizi seimbang. Merujuk pada Riskesdas 2018, bahwa pada kelompok remaja masih belum baik kebiasaan makannya. Sekitar 65% sering melewatkan sarapan, padahal sarapan memenuhi dapat memenuhi kebutuhan gizi harian sampai 15-30% kebutuhan gizi. 97% kurang mengonsumsi sayur dan buah, kurang aktivitas fisik. Kemudian, pada remaja sering kali mengkonsumsi jajanan yang kurang sehat (mengandung pewarna, pengawet dan perasa tambahan) serta tidak seimbang kandungan gizinya (minuman manis, mi instan, gorengan dan cemilan buatan pabrik/makanan olahan).
Dan yang perlu diperhatikan bahwa ternyata prevalensi anemia pada remaja sejumlah 32% artinya sejumlah 3-4 dari sepuluh remaja menderita anemia. Ciri anemia antara lain mudah lelah, letih dan lesu sehingga berdampak pada kreatiitas dan produktivitas. Anemia juga meningkatkan kerentanan penyakit pada saat dewasa serta melahirkan generasi yang bermasalah gizi.
Remaja sebaiknya dapat memilih jenis jajanan yang sehat dengan rendah kalori namun tetap dengan kandungan zat gizi yang seimbang. Boleh saja jajan asal tidak tiap hari, kurangi gula, garam serta lemak dalam konsumi sehari hari. Tetap perhatikan konsumsi 50% sayur serta buah dan 50% karbohidrat dan protein.
Ada empat hal pokok untuk Sobat SiapNikah menjadi pegangan yakni pola makan gizi seimbang, minum air putih yang cukup, aktivitas fisik minimal 30 menit per hari dan mengukur tinggi serta berat badan yang sesuai untuk mengetahui kondisi tubuh.