M. Ricky Pratama – Univesitas Bengkulu
Perkawinan merupakan institusi sosial yang penting dalam kehidupan manusia. Melalui perkawinan, pasangan dapat membentuk keluarga dan membangun hubungan yang erat dan saling mendukung satu sama lain. Namun, perkawinan juga dapat menghadapi berbagai tantangan dan risiko, seperti perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan perlakuan tidak adil terhadap pasangan atau anak-anak. Oleh karena itu, hukum memainkan peran penting dalam melindungi perkawinan dan menjaga keutuhan keluarga.
Di Indonesia sendiri, hukum tentang perkawinan telah diatur di dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974. Dimana definisi dari pernikahan itu merupakan membentuk ikatan lahir dan batin antara seorang Pria dan Wanita sebagai suami istri yang sah dengan tujuan membentuk keluarga baru (Rumah Tangga) yang kekal dan bahagia atas rahmat Tuhan yang maha esa. Maka perkawinan tersebut perlu adanya kesepakatan dari kedua belah memperlai tersebut serta tanpa adanya paksaan dari orang lain termasuk dari keluarga sendiri. Terdapat juga beberapa tahapan yang perlu dihadapi oleh calon pasangan suami istri seperti batas usia, restu dari kedua orang tua, dan ketentuan dari agama masing-masing.
Pernikahan bukan hanya semata-mata sekedar memperbaiki keturunan saja, tetapi juga harus memenuhi hak-hak berkeluarga baik itu suami maupun istri. Berdasarkan Undang-undang tahun 1974 Bab IV tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri, disebutkan bahwa Hak dan Kedudukan Suami dan Istri adalah sama dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan bersama masyarakat. Seperti suami yang wajib menafkahi keluarganya, istri yang bertanggung jawab terdahap urusan rumah tangga, saling mencintai satu sama lain serta memiliki kediaman tetap (Rumah sendiri).Tetapi sayangnya masih banyak kasus-kasus yang ditemui di masyarakat terkait Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bahkan bisa terjadi perceraian dalam rumah tangga tersebut. Hal tersebut telah diatur di pasal 39 UU Perkawinan.
Untuk mencegah hal tersebut perlu adanya Lembaga hukum yang turut ikut berperan dalam penegakan hukum di Indonesia. Beberapa lembaga hukum yang terlibat dalam melindungi perkawinan di Indonesia antara lain:
• Pengadilan Agama: Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perkawinan, seperti perceraian, pembagian harta, dan hak asuh anak.
• Kementerian Agama: Kementerian Agama bertanggung jawab untuk mengeluarkan izin pernikahan dan memastikan bahwa pernikahan dilakukan sesuai dengan hukum dan agama yang berlaku.
• Kepolisian: Kepolisian memiliki peran penting dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap pasangan atau anak-anak.
• Komisi Nasional Perlindungan Anak: Komisi ini bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak anak, termasuk hak-hak anak dalam perkawinan.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, mayoritas pemuda di Indonesia telah melakukan pernikahan pertamanya di rentang usia 19-21 tahun dengan jumlah presentase 33,76% pada bulan maret 2022, sebanyak 27,07% pemuda di Indonesia telah menikah di rentang usia 22-24 tahun, kemudian terdapat juga pemuda berusia 16-18 telah menikah di usianya tersebut dengan presentase 19,24%. Bahkan terdapat juga usia di bawah 15 tahun yang telah melangsungkan pernikahannya dengan presentase 2,26%.
Perkawinan anak merupakan masalah serius yang mempengaruhi hak-hak anak dan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, hukum perlindungan anak dalam perkawinan menjadi penting untuk menjaga keutuhan anak-anak. Beberapa aspek penting dalam hukum perlindungan anak dalam perkawinan meliputi:
• Upaya pencegahan perkawinan anak: Hukum harus menghambat pencegahan perkawinan anak dengan mengatur pengumuman pasangan dan memastikan bahwa pernikahan dilakukan sesuai dengan hukum dan agama yang berlaku.
• Perlindungan hak-hak anak dalam perkawinan: Hukum harus menjaga hak-hak anak dalam perkawinan, termasuk hak-hak terhadap pengendalian, diskriminasi, atau kekerasan.
• Penegakan hukum: Hukum harus menegakkan perlindungan anak dalam perkawinan dengan memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggar hukum.
Kenapa hal tersebut menjadi sangat penting karena setiap anak dilahirkan memiliki potensi, tongkat estafet dan tunas untuk genarasi-generasi muda. Merekalah yang nantinya akan menjadi para penerus generasi sebelumnya untuk mewujudkan cita-citanya dan membangun masa depan menjadi lebih baik. Sangat miris jika mereka tidak mendapatkan hak-hak mereka yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Anak yang dipaksakan untuk menikah akan berdampak buruk baik secara mental maupun fisik. Menurut WHO, 11% jumlah perkawinan di dunia, 23% dari kehamilan ini berkontribusi terhadap penyakit yang berhubungan dengan kehamilan remaja dan persalinan. Kehamilan pada remaja mempunyai risiko penyakit seperti anemia, kelahiran prematur, dan preklamsia lebih tinggi dibandingkan kehamilan usia 20 hingga 35 tahun.Bahkan, kasus penularan penyakit seksual lebih rentan terjadi pada remaja khususnya saat proses persalinan (Unicef, 2020). Setiap hari di tahun 2020, hampir 800 perempuan meninggal atau sekitar 287.000 perempuan meninggal selama dan setelah kehamilan dan persalinan pada tahun 2020.
Sebagai penutup, kami mengajak pembaca untuk memahami peran hukum dalam menjaga keutuhan perkawinan dan perlindungan terhadap pasangan dan anak-anak. Dengan memahami berbagai aspek perlindungan perkawinan, pembaca diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang perlindungan perkawinan dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi pasangan dan anak-anak.
Daftar Referensi
UU No. 23 tahun 2002
Unicef. (2020). Manajemen Kebersihan Menstruasi Dan Pencegahan Perkawinan Anak. In H. Umniyati (Ed.), Pimpinan Pusat Muslimat NU UNICEF (1st ed.). Pimpinan Pusat Muslimat NU. https://www.pma2020.org/sites/default/files/IDR2-MHM brief-v1-Bahasa Indonesian-2017-05-03.pdf
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. (1974).
WHO. (2023). Maternal mortality. World Health Organization. https://www-who-int.translate.goog/news-room/fact-sheets/detail/maternal-mortality?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc