Pasangan Kamu Abusive dan Manipulatif, Stay or Leave?

Gambar ini menggambarkan seorang perempuan yang berada di lingkungan toxic Perempuan ini menyadari bahwa hubungannya toxic dan jika terus dilanjutkan akan memiliki dampak buruk bagi dirinya. Oleh karena itu, perempuan tersebut memutuskan untuk keluar dari lingkaran toxic

Table of Contents

Penulis : Cecilia Rhisfasari Fauzy – Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Dalam menjalin hubungan, setiap orang akan memiliki permasalahannya masing-masing. Seseorang yang mencintai pasangannya akan melakukan segala sesuatu agar pasangannya bahagia. Tidak banyak yang sadar ketika seseorang berada dalam hubungan toxic. Seseorang yang rela untuk selalu disakiti, mendapat kekerasan, pelecehan dan hal-hal lain yang merugikan, namun sulit dan takut untuk keluar dari situasi tersebut maka hal ini disebut dengan trauma bonding atau ikatan trauma. Untuk keluar dari hubungan toxic, tidaklah mudah, akan selalu ada kekhawatiran yang mereka rasakan untuk tinggal sendirian dan mereka akan selalu cemas tidak ada lagi yang peduli dan menyayangi mereka jika meninggalkan pasangannya. Apakah kalian pernah mengalami sikap abusive dari pasangan kalian dan enggan untuk meninggalkannya? Hati-hati, ini bukan cinta tapi relasi yang tidak sehat.

Baca JugaPasangan Manipulatif? Ini 6 Cara Menghadapinya

Saat seseorang berada pada set bounderies yang tidak sehat, mereka tidak akan pernah sadar bahwa mereka sedang berada dalam lingkaran setan. Apalagi, jika mereka mengalami pelecehan dan kekerasan akan menimbulkan perasaan yang sulit dimengerti, karena perilaku jahat tersebut pelaku akan melakukan dengan sikap baik dan keintiman sehingga membuat korban larut akan sikap  manipulasinya. Ketika seorang pelaku melakukan kekerasan dan pelecehan, setelah itu ia akan meminta maaf dan  menebar janji-janji manis pada korban sehingga korban luluh dan  dapat memaafkan perbuatan pelaku.

Apa itu Trauma bonding?

Trauma bonding adalah situasi di mana kita tidak menyadari akan hal-hal negatif seperti kekerasan, pelecehan ataupun tindakan negatif lainnya  dan sulit untuk keluar dari  ikatan tersebut. Seorang psikologi penggagas teori trauma bonding, yaitu Donald Dutton and Susan Painter (1981) menjelaskan bahwa trauma bonding adalah ikatan yang melibatkan dua orang dalam hubungan searah, di mana pelaku membentuk ikatan emosional dengan korban dan diakhiri dengan perilaku positif. Dominasi perilaku yang ada dalam trauma bonding ini dikonseptualisasikan sebagai anomali dalam sebuah hubungan yang dilakukan dengan kekerasan, pelecehan dan pasca insiden yang dilakukan pelaku tanpa adanya penyesalan.

Ketika pelaku melakukan perilaku menyimpang, ia akan meminta maaf, menyatakan cinta, bersikap manis layaknya seseorang yang memiliki kelembutan supaya korban merasa bahwa pelaku  akan membuat korban merasa aman dan memiliki keterikatan yang baik.  Kondisi inilah yang akan membuat korban berubah pikiran ketika ia merasa terganggu oleh sikap pelaku yang melakukan penyimpangan tetapi ketika diakhiri dengan perilaku positif dari pelaku, maka korban akan merasa luluh dan akan merasa terbebani ketika korban  memilih untuk meninggalkan pelaku. Kondisi ini, akan dengan sengaja dilakukan oleh pelaku supaya korban percaya bahwa pelaku memiliki keterikatan positif atau perasaan cinta pada korban sehingga korban akan merasa terikat dan sangat membutuhkan pelaku.
Trauma bonding termasuk dalam toxic relationship di mana salah satu dari sebuah pasangan mengalami kerugian seperti direndahkan, dilecehkan,  mengalami ketidak adilan, bahkan kekerasan secara verbal dan non verbal. (Dutton dan Painter 1993, 106) Trauma bonding pun tidak hanya dialami pada sepasang kekasih, namun trauma bonding dapat dialami pada hubungan  pertemanan, anak dengan orang tua / pengasuh, pelaku dan korban penculikan, bos dan karyawan, dan masih banyak lagi.

Dalam hubungan yang memiliki trauma bonding, ada dua ciri umum yang biasanya tampak, yaitu a) ketidak seimbangan kekuasaan, di mana orang yang menjadi korban akan tunduk karena hubungan di dominasi oleh pelaku; b) sifat intermitent explosive disorder pelecehan (Hidayatul Rahmi 2022, 86), seperti adanya perilaku di luar nalar dengan  adanya kekerasan  dan perilaku agresif.

Dampak Trauma bonding

Trauma bonding merupakan set bounderies yang tidak sehat layaknya berada dalam lingkaran setan yang memiliki benteng sulit untuk ditembus. Korban mengalami kekerasan, pelecehan dan penyimpangan lainnya dalam suatu hubungan yang polanya berulang karena love bombing, hal ini mengakibatkan perubahan pikiran korban yang mewajarkan perilaku menyimpang tersebut. Kondisi ini menyebabkan dampak psikologis pada korban, misalnya korban menjadi tidak bisa membedakan realitas dan imajinasinya. Menurut teori psikologis, ini merupakan gangguan schizophrenia. (Zahnia dan Wulan Sumekar 2016, 160) Gangguan schizophrenia adalah gangguan mengenai proses berpikir, persepsi dan afek abnormal. Penderita schizophrenia biasanya merasakan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya.Selain berpengaruh pada psikologis seseorang, trauma bonding memiliki dampak pada hubungan interpersonal seseorang. Korban akan selalu mengasingkan diri dari siapa pun dan enggan untuk berinteraksi dengan yang lain. Dampak lain untuk pelaku adalah ia akan dikucilkan oleh orang-orang di sekitar karena perbuatan yang ia lakukan. (Makarim 2014, 16)

Cara Mengatasi Trauma bonding

Tidaklah mudah mengatasi toxic relationship yang di alami pada setiap hubungan, keluar dari trauma bonding tidak semudah membalikkan tangan. Namun kita memiliki hak dalam menjalin sebuah hubungan dengan pasangan yang kita cintai dan sayangi. Jika dirasa ada hal aneh yang terjadi dalam hubungan dan terjebak dalam trauma bonding, segera konsultasikan dengan lembaga profesional, seperti psikolog, dokter ataupun Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak yang ada di masing-masing kota tempat tinggal. Jika suda pergi ke lembaga profesional, maka setelahnya akan diarahkan untuk melakukan terapi.

Baca Juga: Pasangan Manipulatif? Ini 6 Cara Menghadapinya

Salah satu jenis terapi yang bisa diterapkan adalah Rational Emotive Behavior Theraphy (REBT). Terapi ini menggunakan cara dengan mengubah pikiran konseli yang mulanya irasional menjadi rasional, dan membantu konseli mengubah pandangannya dalam membantu dirinya ke arah yang lebih baik. Konsep dari terapi REBT menurut (Ellis dan Windy Dryden 2007) adalah menekan pada pikiran rasional, perasaan dan tingkah laku efektif yang positif. Terapi ini dapat membantu penderita trauma bonding kembali memiliki pikiran yang rasional. Jika Anda membutuhkan konsultasi mengenai hubungan Anda dengan pasangan, Anda bisa pergi ke psikolog atau psikiater, dan bisa melalui website atau aplikasi penyedia layanan konseling karena saat ini sudah banyak layanan konseling melalui online.

Mencegah terjadinya Trauma bonding

Jika pasangan Anda sudah melakukan hal-hal aneh di luar nalar, maka ambil sikap dalam ketegasan supaya Anda tidak direndahkan. Pahami perilaku menyimpang dan sadari jika ada hal-hal menyimpang yang menimpa diri Anda. Sebelum hubungan toxic semakin jauh dan mengakibatkan trauma bonding, ada baiknya sudahi hubungan tersebut. Cari pertolongan dan ceritakan pada orang terdekat supaya mereka dapat membantu. Jika tidak, bisa melakukan konseling pada psikolog dan psikiater agar mendapatkan solusi terbaik atas apa yang terjadi. Karena, trauma bonding akan sangat sulit untuk ditangani oleh diri sendiri. Kenali tanda-tandanya, minta pertolongan dan jauhi set bounderies yang tidak sehat.

 

Referensi

Campbell, W. K., dan C. A. Foster. 2002. “Narcissism and Commitment in Romantic Relationships: An Investment Model Analysis.” Personality and Social Psychology Bulletin 28.

Dutton, D. G., dan S. Painter. 1993. “Emotional attachments in abusive relationships: A test of traumatic bonding theory.” Violence and Victims 8, no. 2: 105–20. https://doi.org/10.1891/0886-6708.8.2.105.

Ellis, Albert, dan Windy Dryden. 2007. “The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy.” In , diedit oleh Pamela Ritzer. New York: Springer publishing company.

Hidayatul Rahmi, Adelia. 2022. “Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusia pada Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Samarinda.” Jurnal Penelitian Ilmu Hukum 1, no. 3: 82–92. https://doi.org/10.56393/nomos.v1i5.581.

LICSW, Erica Laub. 2022. “The 7 Stages of Trauma bonding.” Choosing Theraphy. 2022. https://www.choosingtherapy.com/stages-of-trauma-bonding/.

Makarim, Mufti. 2014. “Memaknai Kekerasan.” Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1–19.

Rogoza, R., P. Wyszyńska, M. Maćkiewicz, dan J. Cieciuch. 2016. “Differentiation of the Two Narcissistic Faces in their Relations to Personality Traits and Basic values.” Journal of Personality and Individual Differences 95.

Strutzenberg, Claire. 2016. “Love-Bombing : A Narcissistic Approach to Relationship Formation” 12: 1–31.

Zahnia, Siti, dan Dyah Wulan Sumekar. 2016. “Kajian Epidemiologis Skizofrenia.” Siti Zahnia Dyah Wulan Sumekar 5, no. 5: 160–66. http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/904/812.

Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Artikel Ini?
+1
25
+1
10
+1
5
+1
0
Scroll to Top