Oleh : Retno Dewanti (Penata KKB Ahli Muda)
Media sosial menjadi saluran komunikasi yang sangat berperan dalam menyebarkan informasi dan membentuk opini publik. Tidak sedikit, individu yang mendapatkan pencerahan maupun yang terpengaruh oleh apapun informasi dari media sosial, dari mulai yakin sampai dengan tindakan serta perubahan perilaku. Bagaimanapun media sosial tanpa dipungkiri menjadi saluran yang mendapatkan perhatian besar masyarakat ketika sebuah isu digaungkan.
Baca Juga: Pentingnya Catin Pria mengetahui Fatherless
Mengulik bagaimana Fatherless menjadi topik hangat di berbagai platform baik itu di TikTok, Instagram, hingga di x, menjadi sebuah isu yang semakin menghangat di masyarakat modern. Di balik popularitas ini, muncul pertanyaan: apakah generasi muda benar-benar memahami dampak dari fatherless, atau hanya sekadar mengikutinya sebagai tren?
Apa itu Fatherless ?
Masyarakat Indonesia mungkin lebih mengenal istilah single mom ataupun broken home. Kenyataannya fenomena Fatherlesss ini sudah lama terjadi. Ketika dimunculkan polling pendapat di media sosial ternyata cukup banyak juga individu yang berpendapat bahwa fatherless adalah ada dan tiada sosok ayah dalam tumbuh kembang anak kemudian muncul pendapat “kekosongan hidup tanpa ayah walau senyatanya ada”. Fatherless merupakan sebuah kombinasi dari jarak fisik, emosional antara ayah dan anaknya. Jarak ini muncul dari rangkaian pengasuhan ketidakhadiran ayah secara emosional hingga fisik. Kurangnya kehadiran ayah bisa karena perceraian, ayah yang kurang bertanggungjawab, kasus kriminal, tugas pekerjaan hingga tuntutan meningkatnya kebutuhan materiil hingga menjadi pemicu pemenuhan kebutuhan dan mengejar target.
Mengapa di Indonesia masih banyak ayah yang jarang mengasuh anak?
Menurut Kepala Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM, Diana Setiyawati bahwa “dalam pengasuhan membutuhkan keterlibatan orang tua yakni ayah dan ibu”, artinya pengasuhan anak tidak hanya tanggungjawab ibu namun juga oleh ayah. Namun, tidak sedikit yang menganggap mengasuh anak adalah tugas dan kewajiban ibu sedangkan ayah adalah mencari nafkah. Pandangan ini tidak terlepas dari budaya Patriarki yang cukup kental dari dulu hingga saat ini di Indonesia. Budaya patriarki menempatkan perempuan bertanggung jawab untuk urusan domestik dan mengurus anak. Sementara laki-laki bertanggung jawab pada urusan publik. Padahal, pengasuhan ayah nyatanya tidak dimaknai hanya sebagai pencari nafkah saja. Peran ayah juga dibutuhkan dalam fase tumbuh kembang seorang anak. Peran dalam pengasuhan keduanya sama pentingnya. Fatherless tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
Baca Juga: Peran Penting Ayah dalam Tumbuh Kembang Anak
Mengapa Penting Membahas Fatherless Secara Serius?
Meningkatkan konten tentang Fatherless adalah hal yang cukup membuat secercah harapan. Minimal, publik menjadi terbuka celah tentang fenomena Fatherless. Banyak anak muda yang secara serius mengangkat topik fatherless dengan analisis mendalam dan membahas dampak jangka panjangnya, termasuk rasa hampa, masalah kepercayaan, dan kesulitan dalam hubungan romantis di kemudian hari. Tetapi di sisi lain, ada juga yang hanya membahasnya dengan pendekatan lucu atau sekadar ikut-ikutan, yang justru bisa membuat fatherless menjadi sesuatu yang tidak dianggap serius. Atau mengangkat isu fatherless karena melihat temannya melakukan hal yang sama, tanpa benar-benar memahami dampak atau relevansi topik tersebut. Ini membuat kesadaran hanya menjadi “kesadaran semu” yang hilang begitu tren berganti. Namun demikian, kita benar-benar perlu menempatkan porsi fenomena ini dalam perhatian yang serius untuk benar-benar menumbuhkan kesadaran sejati.
Baca Juga: Tak Perlu Buru-buru, Pasangan Muda Perlu Bekal Ilmu Parenting Sebelum Menikah
Sebagai penutup, di balik viralnya topik Fatherless, kesadaran akan fatherless semoga bukan hanya sekadar tren, tetapi juga peluang untuk menciptakan karakter generasi yang lebih empati dan peduli terhadap kesehatan mental. Jawabannya, bergantung pada sejauh mana generasi ini mampu memahami dan meresapi dampak ketiadaan ayah. Jika hanya atau sekedar tren maka pemahaman dan maknanya seiring waktu akan menghilang namun jika mampu menjadi lebih dari sekedar trend dan benar-benar menyentuh pemahaman mendalam, maka kita sedang menuju pada kesadaran sejati. Dengan begitu, Fatherless bukan hanya “fenomena” melainkan menjadi dorongan untuk perubahan yang membawa kesehatan mental dan dukungan emosional ke tingkat yang lebih membawa kenyamanan dan kesejahteraan.
Referensi:
– https://lifestyle.kompas.com/read/2024/08/05/082003020/catat-2-penyebab-terjadinya-fenomena-fatherless-di-indonesia
– https://lifestyle.kompas.com/read/2024/08/04/190500820/generasi-muda-lebih-sadar-adanya-fenomena-fatherless-benarkah
– https://www.kompas.com/edu/read/2023/05/25/090000371/indonesia-urutan-ke-3-fatherless-country-psikolog-ugm-sebut-5-dampaknya
– https://www.fimela.com/parenting/read/3683303/2018.menurut-studi-anak-yang-dekat-dengan-ayahnya-punya-iq-lebih-tinggi