Permasalahan remaja seperti tawuran, seks pra nikah, narkoba, pernikahan dini masih sering terjadi. Remaja suka berulah, padahal, generasi milenial akan menjadi tumpuan penentu apakah bonus demografi bisa menjadi bonus kesejahteraan di masa depan. Bagaimana menangani remaja yang berulah?
Setiap orangtua harus mengetahui bahwa ada tiga masa transisi remana. Transisi pertama yang dialami oleh remaja adalah pendidikan, melalui transisi ini baru remaja dapat melanjutkan ke transisi berikut yaitu pekerjaan. Setelah melewati transisi kedua, yaitu pekerjaan maka baru seorang remaja dapat masuk ke tahap transisi berikutnya yaitu membangun keluarga
Pada fase pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) serta Perguruan Tinggi dengan menerapkan mendidik rasa tanggungjawab dan keseriusan serta konsistensi diri dalam pemahaman ilmu pengetahuan dan berpikir analisis untuk menjadi profesional.
Masa-masa fase kedua ini yang amat rawan akan prilaku sek bebas, narkoba dan prilaku-prilaku yang tidak cocok dengan budaya kita. Kuncinya adalah pelaksanaan dan perbuatan rutinitas nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Remaja yang kuat pemahaman agamanya bisa kuat menghadapi tantangan.
Banyak orang tua kaget. Anaknya yang dulu manis, tiba-tiba menjadi liar saat remaja. Apalagi, jika orang tua sibuk dengan pekerjaan sehingga tak memperhatikan perubahan-perubahan pada sang anak.
Masa remaja memang sangat menantang. Kamu yang saat ini remaja, atau yang dulu pernah melalui masa remaja, pasti geleng-geleng kepala ketika mengingat kelakuan-kelakuan “gila” dan berisiko yang dulu dilakukan saat remaja.
Direktur Institute of Human Development di University of California, Berkeley, Prof. Ronald E. Dahl menyebut, banyak remaja kesulitan mengontrol emosi dan perilaku. Karenanya, remaja terpapar risiko lebih besar, mulai dari cidera, bunuh diri, depresi, minuman alkohol, konsumsi, kekerasan, hingga narkoba.
Pahami Perubahan Fisik dan Psikologis Remaja
Di era informasi, paparan risiko itu menjadi lebih kuat karena remaja bisa mudah mendapatkan pengaruh dari media sosial. Dahl mengatakan, gabungan riset-riset yang dilakukan psikolog dalam kurun waktu 150 tahun terakhir menunjukkan, secara biologis, sosial, dan kultural, remaja mengalami perubahan signifikan.
Dari ukuran fisik, pertumbuhan remaja kini lebih cepat karena asupan nutrisi yang lebih baik. Demikian pula pubertas atau kematangan seksual terjadi lebih awal. Namun yang paling menarik adalah, periode masa remaja saat ini lebih panjang. Dahulu, masa remaja berlangsung selama 2-4 tahun, di sekitar usia 12-16 tahun.
Saat ini, berdasar proses pubertas, perkembangan sistem otak, hingga perilaku sosial, periode remaja sekarang bisa berlangsung sampai 10 tahun, dari kisaran usia 11-20 tahun. Artinya, remaja zaman sekarang harus menghadapi periode labil lebih lama. Itu berarti pula, remaja berada pada konsisi terpapar risiko lebih lama.
BACA JUGA:
- 4 Langkah Perencanaan Keluarga, Dimulai Saat Kamu Remaja
- Berani Lakukan Seks Pra Nikah? Bersiaplah Menerima Risiko Ini
- Masih Remaja, Bolehkah Bertanya tentang KB?
Pencari Sensasi
Beberapa riset menunjukkan, keinginan mencari sensasi (sensation seeking) meningkat pada usia remaja. Sensasi apa saja. Bolos sekolah, kebut-kebutan di jalan, tawuran, merokok, minuman keras, narkoba, hingga pergaulan bebas.
Ternyata, itu terkait tahapan perkembangan sistem otak di masa remaja. Saat ada stimulasi yang bisa memantik emosi, otak bekerja dalam dua jalur.
Jalur pertama adalah sistem Limbic yang lebih reaktif. Jalur kedua adalah Prefrontal Cortex yang berperan menganalisis informasi dengan lebih komprehensif, sehingga tindakan bisa lebih terkontrol.
Secara alamiah, stimulus pesan ke Limbic bergerak lebih cepat sepersekian milidetik dibanding pesan yang dikirim ke Prefrontal Cortex. Sehingga, terkadang yang muncul terlebih dahulu adalah reaksi impulsif.
Selain itu, pada masa remaja, sistem Limbic juga berkembang lebih cepat dibanding perkembangan Prefrontal Cortex. Disparitas atau gap itulah yang membuat remaja cenderung lebih impulsif dan berani melakukan hal-hal berisiko.
Karenanya, di masa remaja, senggolan sedikit saja bisa berujung baku hantam. Tatapan sinis atau suara ejekan bisa memicu tawuran. Sindiran kata-kata “Cemen” atau “Penakut” bisa menghasut remaja menenggak miras , mencicip narkoba, hingga seks bebas.
Peran Orang Tua
Sangat penting bagi remaja untuk memahami apa yang terjadi di dalam dirinya. Agar bisa lebih mengontrol diri. Tapi, lebih penting lagi peran orang tua.
Setelah mengetahui perbedaan cara kerja otak remaja, sikap marah-marah hanya akan membuat remaja semakin menjauh dan melawan. Orang tua harus paham bahwa yang dihadapi adalah makhluk yang cara pikirnya berbeda. Jadi, tidak bisa dipaksa untuk berpikir sama dengan orang dewasa.
Sempatkan waktu lebih banyak untuk berkomunikasi dengan anak di masa remaja. Perhatikan aktivitasnya, kenali teman-teman dan lingkungan pergaulannya, tanyakan apakah ada kendala di sekolah, dan lain sebagainya. Meski tidak mudah, usahakan bisa berperan sebagai seorang sahabat. Jika ingin meluruskan perilaku, sampaikan dengan cara yang baik, tanpa marah-marah.
Bantu anak remaja menemukan kegiatan favorit yang bisa menjadi fokusnya. Misalnya, olahraga, fotografi, multimedia, menulis, bermusik, dan lainnya. Fokus pada hal positif akan membantu remaja memperkuat kontrol dirinya.