Fleksibilitas Peran Orang Tua di Era Modern

Table of Contents

Vizcardine Audinovic, Penyuluh KB Ahli Muda Provinsi Jawa Timur

Keterlibatan laki-laki dalam urusan domestik dan pengasuhan anak saat ini mulai familier. Semakin sering kita jumpai pemandangan ayah yang ikut beberes rumah, mengajak anaknya berkeliling kompleks rumah, hingga mengantar anak ke posyandu. Coba kita flashback 10-20 tahun silam, rasanya hal tersebut tabu dilakukan pria.

Di Indonesia, sebagian besar masyarakat masih menganut peran gender tradisional. Selama ini perempuan dianggap lebih piawai dalam merawat, mengurus rumah dan mengasuh anak. Peran perempuan di ranah domestik adalah dominan, ditambah dengan pandangan masyarakat yang menitikberatkan kesuksesan perempuan pada perkawinan dan menjadi ibu yang baik. Sedangkan peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga adalah sebagai pencari nafkah. Peran laki-laki maupun perempuan terbagi dengan kaku dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama sehingga menjadi hal yang normal oleh masyarakat Indonesia.

Seiring perkembangan zaman, perlahan tapi pasti peran yang kaku tadi mulai mencair, jadi lebih fleksibel. Salah satu adanya fleksibilitas peran ini adalah karena pendidikan. Penelitian dari Sugitanata dan Zakariya (2021) menyebutkan pasangan suami istri yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih luwes dalam berumah tangga. Pola hubungan mereka cenderung modern, pembagian tugas rumah tangga yang fleksibel karena sebelumnya sudah dibicarakan dan disepakati satu sama lain. Apalagi saat ini akses pendidikan untuk wanita dan akses informasi juga lebih mudah dibandingkan beberapa dekade lalu.

Keterbukaan komunikasi pada pasangan menjadi kunci. Baik ayah atau ibu secara bergantian atau bersamaan bisa berkontribusi di ranah domestik dan publik tanpa merasa terbebani, saling bekerjasama dengan menerapkan prinsip kesetaraan dan keseimbangan dalam keluarga. Adanya fleksibilitas peran menunjukkan bahwa keluarga tersebut menjalin komunikasi yang baik.

Dampak fleksibilitas peran.

Perempuan tidak lagi menjadi perawat utama dalam keluarga. Perempuan mempunyai kesempatan dan pilihan untuk berperan di luar rumah. Perempuan bisa ikut mencari nafkah, aktif dalam kegiatan sosial bahkan menjadi pemimpin. Berdasarkan indeks ketimpangan gender yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2023 menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) mengalami kenaikan 1,11 persen menjadi 54,52 persen dibandingkan tahun 2022. Sedangkan laki-laki hanya mengalami peningkatan sebesar 0,39 persen. Artinya kesempatan perempuan dan laki-laki di dunia kerja semakin setara.

Adanya fleksibilitas peran memberikan persepsi baru bahwa yang menjadi perawat utama dalam keluarga sejatinya adalah seluruh anggota keluarga itu sendiri. Bukan tanggung jawab utama salah satu gender saja. Laki-laki juga harus bisa menjadi perawat dalam keluarga. Minimal bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik dan mandiri. Kita tidak tahu masa depan seperti apa, bagaimana seseorang bisa survive jika segala sesuatunya harus dilayani. Bisa jadi ada laki-laki yang lebih piawai dalam mengurus rumah.

Di samping itu, laki-laki yang terlibat dalam pengasuhan memiliki dampak positif untuk keluarga. Beberapa studi menunjukkan keterlibatan ayah membuat anak menjadi pribadi yang percaya diri, lebih peduli terhadap orang lain, lebih tenang dan memiliki emosional lebih baik. Ini artinya laki-laki juga punya peran penting dalam perawatan.

Dengan fleksibilitas, perempuan juga bisa menggali potensi dirinya lebih luas lagi. Kita tahu bahwa urusan domestik itu tak terikat waktu. Tidak ada jam istirahatnya. Pekerjaan rumah tangga baru akan berhenti ketika kita tidak mengerjakannya. Tapi jika dikerjakan terus menerus maka akan selalu ada saja yang bisa dilakukan.

Sayangnya masih ada perempuan dan laki-laki yang memainkan peran fleksibel ini yang mendapatkan stigma dari masyarakat. Laki-laki yang ikut menyapu, mencuci piring dicap sebagai suami takut istri. Perempuan yang melanjutkan studi lagi ketika sudah memiliki anak dibilang ambisius.

Maka dari itu munculnya fleksibilitas peran ini perlu kita serukan agar kesadaraan mengenai kesetaraan gender makin luas. Karena peran gender tradisional sudah berlangsung lama dan dianggap biasa maka yang menjadi tantangan adalah bagaimana menormalisasikan fleksibilitas peran tersebut dalam masyarakat. Mengubah persepsi masyarakat tidak bisa dilakukan dalam sekejap.

Fleksibilitas peran bukan sekadar angan atau wacana sebab bisa diwujudkan. Kita bisa bersama menyerukan hal ini dimulai dari lingkup terkecil yakni keluarga. Tentu saja fleksibilitas peran dalam keluarga akan berbeda-beda. Tergantung bagaimana keluarga tersebut saling bermusyawarah dan menyepakati pembagian tugas. Yang terpenting adalah tidak ada salah satu pihak yang merasa terbebani, dan semuanya bisa dilakukan dengan sukacita dengan penuh tanggung jawab.

Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Artikel Ini?
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
Scroll to Top