Bersabarlah pada Anak, Boleh Marah Tapi Jangan Pakai Amarah

Sabar pada anak

Table of Contents

Pernahkah kamu memarahi anak dengan ucapan kasar bahkan sampai bermain tangan? Setelah marah ada rasa penyesalan yang menyeruak dalam dada. Sayangnya, kamu merasa malu untuk  minta maaf pada anak. Akhirnya perasaan itu terpendam dalam diam. Kalau itu sering terjadi, kamu harus berfikir ulang dengan pola asuhmu ya.

Sejatinya marah merupakan sebuah emosi yang wajar. Setiap orang bisa marah jika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginannya. Atau ada yang melanggar aturan yang ditetapkannya. Marah itu wajar, yang tidak wajar adalah cara pelampiasan emosi marah.

Ketika badai amarah itu datang, ekspresi apa yang biasanya dilakukan? Mengeluarkan kata-kata kasar? Menggebrak meja? Membanting pintu? Melemparkan barang-barang? Mengucapkan kata-kata pedas menyayat hati? Atau barangkali memukul seseorang? Beberapa hal itu adalah ekspresi kemarahan yang harus dihindari karena memiliki dampak yang sangat merugikan bagi pelakunya.

Efeknya tidak hanya kekecewaan dari orang lain yang menerima ekspresi kemarahan itu, tetapi juga menciptakan situasi yang merugikan di masa mendatang. Deepak Chopra, penulis buku-buku best seller tentang kesehatan, motivasi, dan spiritualitas, menyebut otak manusia sebagai struktur paling kompleks di alam semesta. Pada saat lahir, jumlah sel dalam otak pusat berpikir (cerebrum) bayi sekitar 100 miliar.

Namun, sel-sel itu belum tersambung satu sama lain. Karena itulah butuh support dari orang tua maupun guru agar anak bisa mengoptimalkan kemampuan sambungan sel-sel otaknya. Setiap satu sel otak dapat berhubungan dengan sel otak lainnya sebanyak 15 ribu sampai 20 ribu sambungan.

Penyambungan sel otak ini terjadi secara masif pada usia 0-2 tahun. Inilah kesempatan terbaik bagi orang tua untuk memperbanyak sambungan sel otak pada anak, karena itu, banyak pakar menyebut usia 0-2 tahun ini sebagai window of opportunity.

Marah perlu dikeluarkan, namun melampiaskan marah dengan amarah sebisa mungkin harus dihindari. Sangatlah tidak nyaman sebuah keluarga yang didalamnya memelihara kemarahan sebagai bagian dari budaya. Yang terpenting adalah bagaimana supaya kemarahan itu tidak memberikan dampak buruk terhadap jalinan komunikasi yang ada.

Kemarahan itu adalah akibat, jadi sebenarnya kemarahan bisa dicegah jika penyebabnya diantisipasi. Marah saja tidak menyelesaikan masalah, tetapi jika kamu bisa mengurai permasalahan yang menyebabkan marah maka kamu bisa mencegah kemarahan yang sama di masa datang.

Diam dan Bicaralah

Fokuslah untuk menyelesaikan penyebab marah dibanding melampiaskan rasa marah. Diam sesaat penting untuk meredam emosi. Memberikan hukuman juga bisa menjadi salah satu cara untuk melampiaskan marah. Beri hukuman pada anak tanpa harus menyakiti fisiknya. Bisa dengan dikurung di kamar, membersihkan rumah, tidak boleh makan sementara waktu, sesuaikan hukuman dengan kebiasaan anak.

Setelah masa hukuman selesai, barulah ajak bicara anak. Cobalah komunikasi dari hati kehati, bicarakan apa yang kamu mau dan apa yang harus dilakukan oleh anak. Kamu bisa mengatakan kamu marah dan kecewa, lalu sampaikan apa yang kamu harapkan pada anak. Konsekuensi apa yang akan anak terima jika membuat orangtua marah.

Jangan berfikir anak tidak anak mengerti, sebenarnya anak adalah penyerap informasi yang cepat. Pada fase anak, terjadi proses penyambungan serabut antar sel otak, maka kemampuan berpikir anak akan makin canggih. Nah, serabut atau sambungan itu terbentuk oleh lapisan-lapisan tipis bernama Myelin. Setiap lapisan terbentuk, maka muncul satu kemampuan pada anak. Lapisan Myelin juga berperan penting dalam proses komunikasi antar sel otak.

Lise Eliot, seorang pakar ilmu otak (neuroscientist), dalam bukunya yang berjudul “What’s Going on in There?”, menceritakan saat dia meneliti perkembangan otak anaknya. Dalam riset tersebut, Eliot memasang kabel-kabel di kepala anaknya yang masih bayi untuk memonitor otak.

Suatu ketika, anaknya menendang-nendang sehingga kabel yang menempel di kepala terlepas. Secara refleks, Lise Eliot berteriak seperti orang marah, sehingga bayinya terkaget-kaget, takut, dan menangis.

Saat dia memeriksa hasil monitoring anaknya, Eliot menemukan fakta ketika anaknya ketakutan akibat suara teriakannya, lapisan Myelin yang ada di dalam otaknya menggelembung seperti balon, lalu pecah.

Bayangkan, jika kejadian semacam itu terjadi berulang kali, maka lapisan-lapisan Myelin yang sangat penting bagi kecerdasan otak anak akan terus pecah. Akibatnya, momentum membangun kecerdasan anak di usia dini akan terlewatkan.

Karena itu, belajar sabar mengelola emosi sangat penting. Jangan asal marah pada anak yang membuat menyesal. Untuk itulah kesiapan emosional menjadi salah satu elemen yang harus dipersiapkan oleh pasangan sebelum memasuki gerbang pernikahan.

 

Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Artikel Ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Scroll to Top