Cover - Mengasuh dengan Cinta, Bukan Luka

Table of Contents

Siti Luthfiyah – Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera Universitas YARSI

 

Tak semua kenangan masa kecil itu manis. Bagi sebagian orang, masa kecil justru menyimpan luka batin yang dalam tertanam dari cara orang tua memperlakukan mereka. Kata-kata kasar seperti ā€œkamu bodoh sekaliā€ atau ā€œmati aja sekalianā€ mungkin terdengar ekstrem, tapi tidak sedikit anak yang tumbuh besar dalam suasana rumah seperti itu. Tak berhenti di kata-kata, banyak pula yang mengalami kekerasan fisik sejak kecil. Dipukul dengan ikat pinggang, dijambak karena tak hafal rumus matematika, atau ditampar karena nilai ujian yang jelek. Ironisnya, tindakan tersebut sering dianggap sebagai bentuk ā€œpendidikanā€. Akibatnya, anak-anak belajar bahwa disakiti adalah hal wajar, dan kasih sayang bisa datang bersama kekerasan.

Baca Juga: Luka Batin di Masa Kecil, Benarkah Bisa Sembuh?

Peristiwa traumatis semacam ini membawa dampak luar biasa dalam perkembangan psikologis seseorang. Dalam dunia kerja, mereka bisa merasa tidak pantas untuk berhasil. Dalam hubungan percintaan, mereka mungkin takut dekat dengan orang lain, atau justru cenderung pasrah ketika disakiti. Dan saat mereka menjadi orang tua, tanpa sadar mereka bisa mengulangi pola yang sama meskipun dulu mereka berjanji untuk tidak melakukannya. Mendidik anak dengan luka bisa berdampak buruk jika tidak ada yang mengontrol. Tanpa pendampingan yang tepat, luka itu bisa merusak dan terus menjalar ke banyak aspek kehidupan. Kalau sudah seperti itu, anak harus didampingi secara tuntas agar tidak menjadi luka yang diwariskan kembali dalam generasi selanjutnya.

Baca Juga:Ā Hindari Dampak Negatif, Ini Cara Mengelola Inner Child dalam Mengasuh Anak

Menurut pendekatan psikologi keluarga, pola asuh orang tua memiliki peran besar dalam membentuk kepribadian anak. Ada pola asuh otoriter yang keras dan penuh hukuman, permisif yang terlalu longgar, tidak terlibat yang abai, dan otoritatif yang seimbang antara disiplin dan kasih sayang. Pola terakhir inilah yang terbukti paling sehat untuk perkembangan mental anak. Namun, orang tua yang dulu tumbuh dengan kekerasan seringkali kesulitan menerapkan pola asuh otoritatif. Luka masa lalu mereka belum sembuh, dan tanpa sadar luka itu diwariskan ke generasi berikutnya. Seperti vas bunga yang pernah pecah, perlu lem yang kuat yakni kesadaran diri dan bantuan profesional dapat membantu menyatukan kembali kepingan yang hancur. Mendidik anak tetap perlu ketegasan, tapi bukan berarti harus keras. Keras dan tegas itu berbeda. Ketegasan lahir dari cinta dan kejelasan batasan, sementara kekerasan lahir dari ketakutan dan amarah yang belum selesai.

BACA JUGA ARTIKEL  Anak Suka Memainkan Kemaluan, Orang Tua Harus Apa?

Baca Juga:Ā Tips Mendidik Anak Dimulai dari Diri Sendiri

Mengatasi trauma bukan hal yang instan. Dibutuhkan waktu, refleksi, dan sering kali bantuan dari ahli seperti psikolog. Tapi kabar baiknya: rantai trauma in bisa diputus. Ketika seseorang menyadari bahwa masa lalunya bukan untuk diteruskan, melainkan dipelajari dan diobati, maka ia selangkah lebih dekat untuk menjadi orang tua yang lebih baik. Menjadi orang tua bukan berarti tidak pernah marah, tidak pernah lelah, atau selalu sempurna. Tapi menjadi orang tua yang berani menyadari kesalahan masa lalu dan berkomitmen untuk berubah. Karena pada akhirnya, rumah adalah tempat pertama anak belajar tentang dunia. Maka pastikan, rumah itu bukan tempat pertama mereka terluka.

 

Ā 

 

REFERENSI:

Hasanah, U. (2016). Pola asuh orang tua dalam membentuk karakter anak. Jurnal elementary, 2(2), 72-82.

Karlinawati. (2021). Psikologi Keluarga. Jakarta: RajaGrafindo

Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Artikel Ini?
+1
19
+1
11
+1
2
+1
0
Scroll to Top