Ketika manusia lahir, kemampuan komunikasi bayi memang sangat terbatas. Di awal, komunikasi itu muncul dalam bentuk tangisan. Namun dalam hitungan bulan, komunikasi mulai dilakukan dengan menggunakan mata sebagai cara untuk mengkomunikasikan apa yang ada di pikiran mereka.
Karena itu, mata dan pandangan seorang bayi kemudian menjadi jendela bagi para peneliti untuk menyelami sejauh mana pengetahuan dan pemahaman seorang bayi. Salah satu parameter yang digunakan adalah berapa lama bayi memandang suatu objek. Ketika bayi memandang suatu objek lebih lama dari biasanya, itu menjadi pertanda bahwa bayi itu sedang memikirkan sesuatu.
Dari situ, muncul banyak riset yang membuka mata kita betapa sejak bayi, kita sebenarnya sudah menjadi sosok pembelajar. Salah satu studi menarik dilakukan oleh Profesor Karen Wynn dari Yale University, Amerika Serikat, pada 1992.
Mulai Usia 5 Bulan
Studi ini mengungkap bahwa bayi berusia 5 bulan pun sudah mulai memahami konsep matematika dalam cara yang sederhana. Penelitiannya seperti ini. Sediakan kotak yang berfungsi seperti panggung kecil di depan bayi. Lalu, tutup panggung itu dengan kain.
Berikutnya, dengan dilihat oleh bayi, masukkan sebuah boneka Mickey Mouse ke balik layar. Lalu, masukkan lagi satu boneka Micky Mouse. Maka logikanya, ada dua boneka Micky Mouse di balik layar itu.
Selanjutnya, layar diturunkan. Jika di balik layar itu ada dua boneka, bayi melihatnya dengan ekspresi yang biasa saja. Pandangannya juga tidak lama karena keberadaan dua boneka itu memang sudah diperkirakan olehnya.
Tapi, dalam beberapa kesempatan, peneliti mengganti skenarionya. Setelah meletakkan dua boneka di balik layar, ada boneka yang kemudian diambil lagi. Sehingga, ketika layar diturunkan, tinggal ada satu boneka Mickey Mouse di situ.
Tentu, hal itu tidak diperkirakan oleh bayi sebelumnya. Sehingga, ketika itu terjadi, bayi akan menatap lebih lama ke arah panggung seakan sedang mencari-cari dan bertanya-tanya, di mana satu boneka lainnya.
Demikian pula ketika sebelum layar dibuka, peneliti diam-diam meletakkan satu boneka Mickey Mouse lagi. Sehingga, sekarang ada tiga boneka Micky Mouse. Padahal, seperti yang terlihat oleh bayi, tadi hanya ada dua boneka yang diletakkan di balik layar.
Maka, ketika layar diturunkan dan terlihat ada tiga boneka Mickey Mouse, bayi melihat lebih lama ke panggung. Seolah dia berpikir, kenapa ada tiga boneka? darimana satu boneka lainnya berasal?
Konsep Jarak Pun Sudah Dipahami Sejak Bayi
Selain perhitungan matematika, bayi ternyata juga memiliki penilaian tersendiri atas konsep ruang atau jarak. Dalam penelitian yang dilakukan, seseorang meletakkan sebuah benda, lalu berjalan sekitar 2 meter dari benda itu. Kemudian, orang itu mengambil benda tersebut dengan berjalan di jalur yang tadi dia tempuh. Artinya, tidak ada perubahan. Maka, pandangan bayi pun biasa saja.
Dalam percobaan lain. Peneliti melakukan hal serupa, meletakkan sebuah benda, lalu berjalan sekitar 2 meter dari benda itu. Bedanya, saat hendak mengambil benda itu lagi, peneliti tidak berjalan melewati jalur sebelumnya, tetapi mengambil jalur memutar sehingga jarak yang ditempuh menjadi 5 meter.
Hasil penelitian menunjukkan, bayi melihat perilaku tersebut lebih lama, seolah menunjukkan keterkejutan, mengapa orang itu harus memutar lebih jauh? Padahal dia bisa menempuh jarak yang lebih dekat.
Usia 2 Tahun Lebih Hebat
Kemampuan berpikir bayi terus berkembang. Bahkan, di usia 2 tahun, bayi sudah bisa mendeteksi tindakan logis atau tidak logis yang dilakukan seseorang. Penelitian ini dilakukan Baillargeon dan rekannya, Profesor Kristine Onishi dari McGill University.
Risetnya cukup sederhana. Di hadapan anak usia 2 tahun, peneliti X meletakkan sebuah benda ke dalam kotak A. Dia lalu pergi sebentar. Berikutnya, peneliti Y mengambil benda dari kotak A dan memindahkan ke kotak B, tanpa dilihat oleh peneliti X. Logikanya, ketika peneliti X akan mencari benda yang tadi diletakkannya, maka dia akan menuju ke kotak A.
Ketika peneliti X benar-benar mencari di kotak A, maka bayi bisa melihat itu sebagai sebuah hal yang logis. Namun, ketika tiba-tiba peneliti X mencari benda dengan langsung menuju ke kotak B, maka bayi menunjukkan keterkejutan. Bayi itu berpikir, benda itu kan dipindahkan oleh orang lain tanpa sepengetahuannya, bagaimana mungkin dia langsung tahu bahwa benda itu kini ada di kotak B?
Kenapa Sekarang Sulit Belajar Matematika?
Berbagai riset itu menunjukkan, sejak bayi, kita sebenarnya sudah memahami konsep matematika dalam bentuk perhitungan, ukuran ruang, hingga keberadaan suatu objek. Tapi, kenapa ketika anak makin besar, seringkali justru matematika menjadi pelajaran yang dianggap paling sulit di sekolah?
Bisa jadi, karena metode pendidikan, baik itu di sekolah maupun di rumah, lebih ditekankan pada menghafal. Akibatnya, ketika dihadapkan dengan rumus-rumus matematika yang susah dihafal, anak mengalami kesulitan.
Seharusnya, metode pendidikan memang mengedepankan pembangunan logika berpikir. Dengan begitu, teori atau rumus-rumus bisa dipahami oleh anak, bukan dihafal. Ini memang butuh perubahan mendasar dalam metode pendidikan.
Sebagai orang tua, yang bisa dilakukan adalah terus memelihara kemampuan logika anak yang sudah dimiliki sejak bayi. Misalnya, dengan memberikan mainan edukatif seperti balok yang bisa merangsang imajinasi dan kreativitasnya.
Selain itu, sebisa mungkin praktekkan pelajaran yang diterima anak di sekolah dengan cara yang praktis. Misalnya, saat mempelajari rumus menghitung luas persegi panjang, orang tua bisa mengajak anak praktek langsung dengan mengukur ubin atau lantai keramik di rumah. Dengan begitu, anak bisa mendapatkan gambaran nyata tentang konsep luas sebuah bentuk.
(Artikel ini dikembangkan dari buku SENTRA : Inspiring School karya Prof. Rhenald Kasali, Ph.D)