Stop Memaklumi Kesalahan Anak dengan Mengatakan ‘Namanya Juga Anak-Anak’

Ibu dan anak (foto: pexels)

Table of Contents

Segala tingkah polah anak tentu menggemaskan bagi orang tuanya. Bahkan ketika anak melakukan kesalahan, kerap terlontar kalimat ‘Namanya juga anak-anak’. Kalimat itu menyiratkan wujud pemakluman atas perbuatan anak karena usia anak masih sangat muda. Namun, pemakluman tersebut bisa berdampak negatif, apalagi jika anak melakukan kesalahan.

Mendidik anak-anak memang bukan perkara mudah. Ingatlah, anak bagaikan selembar kertas putih. Anak-anak masih lugu dan polos, sehingga menjadi seperti apa ‘warna’ mereka kelak tergantung pola asuh dan pengaruh lingkungan di sekitarnya.

Hal ini berarti ketika anak-anak berbuat salah dan belum menyadari itu adalah sebuah kesalahan, di sinilah orang tua berperan penting. Bukannya memaklumi dengan ‘Namanya juga anak-anak’, orang tua seharusnya memberitahu anak apa yang benar dan salah, sehingga anak-anak bisa mengerti nilai yang benar dari suatu perbuatan.

Pakar psikolog anak sekaligus penulis buku berjudul Raising Kids in the 21st Century, Sharon K. Hall, Ph.D mengungkapkan bersama orang tua anak-anak tahu perbedaan antara yang benar dan yang salah sebelum usia 2 tahun. Sharon juga mengatakan sejak usia 18 bulan, anak-anak bisa mulai diajarkan nilai-nilai terkait benar dan salah. Jadi, tidak lagi ada alasan bagi orang tua mengatakan ‘Namanya juga anak-anak’, sebab sejak dini anak sudah bisa diajarkan mana yang salah dan mana yang benar.

Jika anak tidak diajarkan mana yang benar sejak dini dan terus dimaklumi kesalahannya, maka akan berdampak negatif pada anak itu sendiri. Berikut beberapa dampak negatif yang akan muncul.

1. Anak akan beretika buruk

Menormalisasi kesalahan anak dengan kalimat ‘Namanya juga anak-anak’ justru akan membuat anak memiliki etika yang buruk. Anak akan merasa semua yang dilakukan atau diucapkan selalu benar.

Hal ini tentu berdampak ketika ia mulai terjun ke lingkungan sosial. Anak akan terlihat liar dan tidak tahu sopan santun. Misalnya saja anak bisa masuk ke rumah orang lain tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Bisa juga terjadi saat bertamu, anak justru berkeliaran kesana kemari di dalam rumah orang.

Bukan karena masih anak-anak sehingga kesalahan yang dilakukan adalah wajar, tetapi justru karena masih anak-anak mereka butuh diarahkan agar bisa memiliki etika yang baik.

2. Anak tidak tahu adanya ranah privasi

Mengenal konsep privasi orang lain akan menjadikan anak-anak lebih menghargai orang lain. Sehingga mengajarkan ranah privasi termasuk dalam pendidikan karakter yang harus diberikan pada si kecil sejak dini. Dengan begitu, anak-anak tahu batasan-batasan dalam berperilaku saat bersosialisasi dengan teman-teman atau lingkungan di sekitarnya.

Sebaliknya, jika orang tua selalu mengatakan ‘Namanya juga anak-anak’ saat si kecil membuka kotak mainan milik temannya, maka yang diterima oleh anak adalah membuka barang milik orang lain tanpa izin bukanlah sebuah kesalahan. Akhirnya, ketika tumbuh dewasa ia bisa saja memakai, meminjam, atau bahkan mengambil barang milik orang lain tanpa sepengetahuan dan seizin pemiliknya.

3. Anak sulit berempati dengan sekitarnya

Anak-anak yang tidak pernah diajarkan mana yang benar, mana yang salah, akan sulit berempati dengan orang-orang dan lingkungan sekitarnya. Mereka akan bertindak semaunya tanpa berpikir tindakannya mungkin menyakiti atau merugikan orang lain. Terlebih jika orang tua selalu melakukan pembelaan di hadapan si kecil secara langsung dengan dalih ‘Namanya juga anak-anak’. Hal ini justru akan semakin memperburuk suasana.

Dikutip dari Psychology Today, empati bukan secara otomatis terbentuk dalam diri anak-anak. Meskipun pada dasarnya manusia terlahir dengan hati nurani yang memungkinkan manusia memiliki empati terhadap orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Empati membutuhkan proses yang panjang, sejak anak berusia dini hingga tumbuh dewasa. Menumbuhkan empati perlu peran aktif orang tua dalam mendidik, melatih, dan memberikan contoh langsung pada anak

Lalu, apa yang harus dilakukan orang tua? Daripada menormalisasi ‘Namanya juga anak-anak’, ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam mengajarkan anak soal mana yang benar dan mana yang salah. Pertama, orang tua perlu menetapkan aturan yang jelas. Anak-anak yang percaya mereka dapat melakukan apa pun yang mereka sukai, dan mendapatkan apa pun yang mereka inginkan, cenderung menjadi orang-orang yang bertindak dengan merengek atau mengamuk ketika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

BACA JUGA:  Tak Perlu Gengsi Minta Maaf ke Anak saat Orang Tua Salah

Sebaliknya, dengan menetapkan aturan maka anak-anak memahami bahwa ada batasan yang jelas. Selain itu, anak-anak akan belajar bagaimana mengatur diri sendiri dan mematuhi aturan yang berlaku.

Kedua, orang tua harus membantu anak melatih kesabaran. Pada dasarnya tidak ada yang suka menunggu, terlebih anak-anak. Itulah mengapa sangat penting bagi orang tua untuk mulai mengajarkan kesabaran di usia balita.

Tujuannya agar anak-anak bisa mengembangkan toleransi, sehingga mereka tidak akan berperilaku buruk atau bertindak impulsif ketika harus menunggu dalam kehidupan sosialnya.

Ketiga, orang tua memberikan contoh langsung. Berikan contoh secara nyata perilaku yang baik. Anak-anak adalah peniru ulung, sehingga segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya akan dengan mudah mereka tirukan. Jangan harap anak-anak akan tumbuh dengan kepribadian yang baik jika sebagai orang tua, kamu belum memberikan contoh yang baik pula.

Itulah beberapa dampak negatif dari pemakluman dengan kalimat ‘Namanya juga anak-anak’. Tingkah perilaku anak-anak memang ada-ada saja, ya. Akan tetapi, sebagai orang tua bukan berarti harus diam saja menerima perilaku tersebut. Orang tua harus mengajarkan soal benar dan salah.

Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Artikel Ini?
+1
8
+1
4
+1
2
+1
3
Scroll to Top