Roney Saxsana – Mahasiswa Program Studi Stisipol Raja Haji Tanjungpinang
Sangat memprihatinkan kalau kita melihat pernikahan usia anak di Indonesia. Di usia yang belum mencukupi secara reproduksi maupun psikologi, perkawinan usia anak masih terjadi apalagi jika dilihat dari sisi hokum. Di usia anak belum cakap hukum. Seorang remaja tidak lagi disebut anak kecil, tetapi belum juga dapat dianggap sebagai orang dewasa. Maka dalam hal ini terdapat peraturan yuridis untuk menentukan batas usia minimum dalam pelaksanaan perkawinan atau pernikahan. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (2), yakni usia nikah seseorang 21 tahun, apabila dibawah 21 tahun maka harus mendapatkan izin dari kedua orang tua.
Secara garis besar para ulama’ dari empat Mazhab sepakat kaitannya nikah usia dini, dan tidak mempermasalahkan tentang batas usia minimum. Namun ada pula sekelompok ulama’ melarangnya dengan beralasan dalam firman Allah Surat An-Nisa ayat 6 yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah”. Ditambah argumen bahwa kedua anak itu belum perlu kawin karena tujuan perkawinan adalah untuk pelepasan syahwat dan memperoleh keturunan, sedangkan anak kecil tidak butuh itu. Kemudian akan menimbulkan akibat akad yang tidak baik, pasalnya kewajiban mereka dipenuhi dari akad yang bukan mereka buat.
Baca juga: Belum Saatnya Kamu Menikah: Cara Menolak Pernikahan di Usia Anak
Yang sering menjadi kontroversi saat ini adalah hadits Nabi yang memerintahkan pemuda untuk menikah “Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu hendaklah menikah, sebab menikah itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kehormatan. Kalau belum mampu hendaklah berpuasa sebab puasa akan menjadi perisai bagimu”. (HR. Bukhari dan Muslim). Perlu digaris bawahi bahwa perintah tersebut bukan hanya perintah untuk segera menikah, tetapi inti dari hadits tersebut adalah kesiapan seseorang untuk menikah. Kesiapan di sini bukan hanya kesiapan fisik saja, tetapi juga kesiapan ilmu, dan kesiapan ekonomi. Bahkan jika melihat Abdurrahman bin Auf, yang menunda menikah karena menunggu kesiapan dan agama beliau, bisa dijadikan contoh bahwa persiapan pernikahan itu sangat penting.
Yang menjadi penyebab nikah di usia anak diantaranya karena faktor budaya (tradisi/adat), pendidikan rendah, ekonomi. Pertama, faktor budaya disini penilaian masyarakat menganggap nikah dini adalah solusi untuk menyelesaikan masalah kehamilan dan menghindari dosa, serta status anak dalam kandungannya. Kedua, faktor pendidikan rendah dalam ihwal kurangnya pemahaman pendidikan kesehatan reproduksi remaja, yang memicu perilaku seks berdampak domino, yakni hamil di luar nikah, putus sekolah dan lain-lain. Ketiga, faktor ekonomi menjadi dalih karena keterbatasan finansial yang lebih memilih menikahkan anaknya atau mencariakan pekerjaan, daripada menyekolahkannya.
Baca Juga: Jangan Lagi Ada Pernikahan Anak, Dampaknya Tak Main-Main
Kebanyakan anak muda zaman sekarang yang sudah terlanjur maupun akan menikah diusia anak, kurang mengetahui dampak buruknya. Dampak yang muncul akibat nikah dini adalah putusnya sekolah, fluktuasi dalam membangun keluarga serta pengaruh psikologinya karena ketidaksiapan materi maupun mental, nikah muda berpotensi tidak siap melahirkan dan merawat anak, dan berakibat pula kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau munculnya pelanggaran hak asasi manusia. Dampak biologisnya bagi remaja, akan terjadi persaingan nutrisi antara sang ibu dengan anak. Karena pada usia tersebut, ibu juga masih dalam proses pertumbuhan. Selain itu, juga akan terjadi gangguan kesehatan reproduksi, karena kemailan pada usia kurang dari 17 tahun akan meningkatkan resiko komplikasi medis.
Walaupun demikian, pernikahan anak di bawah umur masih kerap terjadi di Indonesia. Padahal berbagai penolakan dan pencegahan oleh petugas Kantor Urusan Agama (KUA) sudah dilakukan. Tapi dalam konteks sekarang upaya tersebut masih tergagalkan dengan adanya dispensasi dari Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita, dengan melihat ayat 2 Pasal 7 UU 1/1974 itu. Artinya jika Hakim Pengadilan memberikan dispensasi itu, maka yang terjadi adalah tidak ada upaya lain lagi dari petugas Kantor Urusan Agama (KUA) selain representasi lembaga pemerintah yang harus menghormati putusan Pengadilan.
Nikah di usia anak bukan merupakan solusi terbaik untuk mengatasi kenakalan remaja secara absolut. Kerena begitu banyak dampak negatif di dalamnya, dan akan berakibat kurang baik kedepannya, baik untuk pria maupun wanita itu sendiri. Masih banyak cara untuk mencegahnya, misalnya dengan pendidikan seks education, supaya lebih faham akibat fatal yang ditimbulkan dari seks bebas. Pemahaman keagamanan mendalam agar terhindar dari perbuatan dosa. Maka dari itu agar tidak berlanjut kenakalannya sebaiknya remaja lebih ke pembenahan sikap, peran orang tua mendidik anak itu penting. Terutama untuk bisa mempersiapkan diri membina rumah tangga sejahtera, bahagia, kekal dan tidak menimbulkan kepuasan sementara, penyesalan dikemudian hari, dan kesensaraan. Pernikahan usa anak tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran bersama untuk mengatasi permasalahan ini agar generasi muda Indonesia dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih baik.