Oleh Vizcardine Audinovic, Penyuluh KB Kabupaten Malang – Jawa Timur
Peran sebagai ibu rumah tangga atau stay at home mom atau housewife , tentu sudah tidak asing lagi bagi masyarakat di Indonesia. Peran ini adalah hal yang lumrah terlebih bagi perempuan yang telah menikah. Jika si istri tidak bekerja secara otomatis akan menjadi ibu rumah tangga. Lalu bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Istri yang bekerja di sektor publik sedangkan para suami yang tetap berada di rumah sebagai bapak rumah tangga?
Masih terdengar tabu?
Penggunaan istilah bapak rumah tangga sampai sekarang masih menjadi isu yang sensitif. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia masih mengacu pada konsep tradisional kepala keluarga. Terlebih mayoritas penduduk Asia juga berpedoman menempatkan posisi suami sebagai penangungg jawab utama dalam mewujudkan keluarga yang sejahtera.
Memang di era 70-90āan, mayoritas suami adalah kepala keluarga yang memiliki tugas utama mencari nafkah untuk keluarga. Namun saat ini ada pergeseran konsep mengenai pencari nafkah dalam keluarga. Di era modern sekarang, kesempatan bagi pria dan wanita untuk bekerja sangat luas. Wanita juga bisa mencari nafkah untuk keluarga.
Kini pemandangan Bapak rumah tangga pun mulai bermunculan. Mungkin saja fenomena ini sudah muncul sejak lama tapi jumlahnya masih sangat sedikit bahkan tidak tampak di permukaan. Bagi seorang suami atau ayah yang mau melakukan pekerjaan rumah tangga masih dianggap hal langka. Sekarang kita mulai terbiasa melihat seorang suami ikut mengasuh bayinya, menyuapi makan, mengganti popok. Ada juga suami yang tidak canggung untuk menyapu, menyuci baju, cuci piring membantu istrinya.
Tidak sedikit ada tatapan kasihan karena laki-laki mengerjakan ātugas perempuanā, seakan-akan tidak ada harga dirinya. Selama ini stereotip di masyarakat, mengurus anak, melakukan tugas rumah tangga selama ini didominasi oleh perempuan. Tugas laki-laki hanya mencari nafkah.
Bapak rumah tangga didefinisikan oleh Liong (2017) sebagai pria yang memiliki peran utama dalam menjaga dan mengasuh anak di rumah. Zimmerman (2000) mengartikan bapak rumah tangga adalah pria dalam rumah tangga yang pendapatannya berasal dari pasangannya. Dari beberapa pengertian tadi, bapak rumah tangga dapat diasumsikan dengan kriteria; pria berusia produktif, punya kemampuan bekerja, punya peran dominan dalam urusan rumah tangga dan mengurus anak di rumah.
Menjadi bapak rumah tangga adalah pilihan dan kesepakatan masing-masing keluarga. Tidak ada yang salah dengan keputusan ini. Sebab yang tahu kondisi keluarga adalah si anggota keluarga itu sendiri. Orang lain hanya bisa melihat dari luarnya saja.
Bagi pria yang menjalani peran sebagai bapak rumah tangga juga tidak perlu minder. Justru ada sisi positif ketika Ayah mau terlibat dalam urusan domestic rumah tangga dan pengasuhan anak. Ayah akan lebih dekat dengan anak, karena menghabiskan waktu lebih banyak daripada ayah yang bekerja di luar rumah. Selain itu ayah juga akan menjadi role model bagi anak, bahwa mengurus rumah dan anak tidak menjadi tugas utama istri, tapi adalah tanggung jawab bersama. Hal ini penting untuk memutus rantai patriarki yang sudah mendarah daging dalam benak masyarakat. Ayah yang ikut mengurus rumah dan anak tentu akan lebih memahami beta sulitnya mengerjakan pekerjaan rumah. Hal ini akan membuat ayah lebih menghormati, lebih peduli dan tidak egois kepada istri. Sehingga akan menciptakan keluarga yang harmonis karena adanya rasa saling menghargai.
Jadi kembali lagi pada nilai-nilai yang dipegang oleh masing-masing keluarga. Untuk saat ini peluang menjadi bapak rumah tangga tentu lebih besar. Ada bapak rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan namun mengerjakan seluruh pekerjaan rumah dan mengurus anak. Ada pula bapak yang bekerja dari rumah sehingga masih bisa membantu sang istri untuk mengurus rumah dan anak. Keduanya adalah pilihan. Tidak ada salah dan benar, selama suami dan istri sepakat mengerjakan perannya masing-masing dengan tanggung jawab.