Fenomena Konten di Media Sosial Tentang Perkawinan Antarbudaya

Cover - Jarak Boleh Jauh, Tapi Jangan Bikin Cemburu Jadi Musuh

Table of Contents

Hemiliana Dwi Putri
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi
Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sahid Jakarta

Di tengah lajunya arus globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi digital, media sosial kini tak sekadar jadi sarana berbagi, tetapi ruang representasi budaya dan identitas yang saling bertemu dan berbaur. Media sosial menjadi jembatan yang menghubungkan manusIa melalui lintas geografis, budaya maupun bahasa. Platform seperti TikTok, Instagram, YouTube, hingga Facebook bukan lagi sekadar ruang berbagi keseharian, tidak hanya menjadi sarana mengekspresikan diri saja tetapi juga sebagai ruang untuk mengkonstruksi, menegosiasikan dan menyebarluaskan tentang identitas, nilai dan hubungan antar manusia.

Salah satu fenomena yang mencuri perhatian adalah maraknya konten unggahan yang berisi tentang kehidupan perkawinan antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA). Tak jarang, konten ini mengangkat kisah pertemuan yang unik, dinamika perbedaan budaya yang lucu hingga menyentuh, serta perjuangan dalam beradaptasi satu sama lain. Cerita tentang mencoba makanan baru, berbicara dengan aksen pasangan, hingga interaksi dengan keluarga besar menjadi menu harian di layar warganet. di balik gelak tawa dan keromantisan yang terbingkai apik, terdapat realitas yang jauh lebih kompleks. Perkawinan lintas budaya adalah pertemuan dua sistem nilai, dua cara pandang, dan dua cara hidup yang kadang saling bertubrukan. Perbedaan bahasa, agama, peran gender, bahkan pola pengambilan keputusan dalam keluarga, menjadi tantangan yang tidak selalu mudah dijembatani.

Konten ini bukan hanya mencerminkan realitas hubungan antar budaya, tetapi juga menggali aspek kultural dalam membentuk narasi tentang pernikahan antar negara seperti proses perkenalan keluarga, adaptasi terhadap adat istiadat lokal tempat pasangan tinggal atau tantangan dalam berkomunikasi karena perbedaan bahasa. Perkawinan antarbudaya yang penuh dengan adaptasi yang luar biasa banyak digambarkan melalui konten-konten yang berisi cerita-cerita pengalaman dengan pasangan yang berbeda budaya, dimulai dengan penyesuaian dalam bahasa yang berbeda, penyesuaian dengan keluarga besar, penyesuaian dengan jenis makanan yang berbeda, cara berpikir, peran gender, agama dan juga dalam pengambilan keputusan. serta mampu untuk saling menerima hal-hal baru sebagai hasil negosiasi dalam menjalankan rumah tangga. Perkawinan antarbudaya merupakan suatu bentuk paling nyata dari pertemuan dua sistem nilai, norma sosial dan kebiasaan hidup yang berbeda. Perbedaan budaya kadangkala menimbulkan kesalahpahaman dan menjadi culture shock, sehingga dibutuhkan strategi adaptasi yang tidak sederhana.

BACA JUGA ARTIKEL  7 Fungsi Positif Tidur Berpelukan bagi Pasangan Suami Istri

Kehidupan yang kian menarik yang dikemas dalam format digital menjadi konten yang bisa ditonton, disukai, dikomentari, bahkan dijadikan panutan. Di sinilah media sosial berperan lebih dari sekadar medium, ia menjadi ruang simbolik tempat budaya dinegosiasikan, identitas disuarakan, dan ekspektasi dikonstruksi.
Reaksi publik terhadap konten-konten semacam ini pun beragam. Ada yang mengapresiasi keragaman dan kisah toleransi budaya yang hangat. Tapi tidak sedikit pula komentar yang sarat stereotip misalnya anggapan bahwa perempuan Indonesia hanya mengejar status atau kewarganegaraan dari pasangan asing. Dalam proses ini, publik tak hanya menjadi penonton pasif, melainkan turut serta dalam memaknai, menyebarkan, bahkan membentuk norma baru tentang “kisah cinta ideal” antar budaya

Fenomena ini bisa dibaca lewat kacamata sosiolog Peter L. Berger yang menjelaskan bagaimana realitas sosial terbentuk secara bertahap: mulai dari eksternalisasi (ketika pasangan mengekspresikan kehidupan mereka melalui konten), lalu objektivasi (ketika publik mulai menganggap kisah itu sebagai realitas bersama atau bahkan sebagai ideal), hingga internalisasi (saat makna itu diterima, diadopsi, dan menjadi bagian dari identitas diri individu atau masyarakat).
Konten pasangan antarbudaya bisa menjadi ruang belajar lintas budaya yang inspiratif. Tetapi ia juga bisa mereduksi kenyataan menjadi sekadar romantisme digital, jika tidak disertai pemahaman tentang betapa rumit dan menantangnya proses adaptasi antar budaya. Ketika perbedaan budaya dianggap lucu atau eksotis semata, kita bisa terjebak dalam konsumsi visual yang menghibur tapi kosong makna.

Pada akhirnya, media sosial memang membuka ruang-ruang baru bagi kisah cinta antarbangsa. Tapi di balik cerita viral dan ribuan like, tersimpan kerja keras, negosiasi nilai, dan proses adaptasi yang panjang. Maka, alih-alih sekadar terpukau oleh potret harmonis yang disuguhkan, publik perlu membangun kesadaran kritis bahwa cinta lintas budaya bukan hanya soal ‘bule dan bahasa’, tapi tentang upaya saling memahami dalam keberagaman yang nyata.

Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Artikel Ini?
+1
11
+1
8
+1
0
+1
0
Scroll to Top