Retno Dewanti – Penata KKB Ahli Muda Kemendukbangga/BKKBN
Di tengah padatnya pekerjaan dan rutinitas harian, sering kali ada satu peran yang tanpa sadar terpinggirkan: menjadi orang tua yang benar-benar hadir untuk anak, terutama saat mereka memasuki masa remaja. Padahal, di usia inilah anak sangat membutuhkan dukungan emosional, arahan, dan teladan positif.
Pesan ini menjadi sorotan dalam Kelas Orang Tua Bersahaja (Bersahabat dengan Remaja) yang digelar Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN pada 12 Agustus 2025. Bertepatan dengan peringatan HUT RI ke-80, kegiatan ini mengangkat tema “Merdeka dari Ruang Kerja ke Ruang Hati: Membangun Komunikasi yang Selaras antara Peran Sebagai ASN dan Orang Tua.”
Baca Juga:Â Peran Penting Orang Tua dalam Membangun Keluarga Harmonis bagi Anak
Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka, dalam sambutannya mengajak orang tua untuk merenung: Apakah kita sudah merdeka dalam menjalani peran ganda ini? Menurutnya, kemerdekaan masa kini bukan hanya soal terbebas dari penjajahan, tetapi juga tentang kemampuan menyeimbangkan keberhasilan di kantor dengan kebersamaan di rumah. “Kita tidak bisa bicara tentang ketahanan keluarga tanpa memastikan keluarga kita sendiri kuat, hangat, dan resilien,” ujarnya.
Remaja di Tengah Tantangan Zaman
Remaja masa kini tumbuh di tengah derasnya media sosial, tekanan akademik, dan pencarian jati diri. Mereka menghadapi dinamika yang belum pernah dialami generasi sebelumnya. Orang tua dituntut untuk tetap produktif di pekerjaan, tetapi juga diharapkan hadir sebagai pendengar setia dan teladan yang memberi arah.
Isyana menggambarkan fenomena yang sering kita lihat: “HP seolah menjadi anggota keluarga baru. Pertanyaannya, apakah kita masih menjadi tempat pulang dan bercerita yang paling nyaman bagi anak?” Ia menekankan pentingnya membangun hubungan (attachment) yang kokoh, memahami dunia anak tanpa harus memaksakan diri meniru gaya mereka.
Mengutip karya Gordon Neufeld, Ph.D., dan Gabor Maté, M.D., ia mengingatkan bahwa keterikatan dengan anak harus dijaga, terutama di tengah kuatnya pengaruh teman sebaya. Tekanan lingkungan pertemanan bisa memicu masalah serius, bahkan kasus bunuh diri. Karena itu, orang tua perlu hadir secara emosional, menjadi tempat aman bagi anak untuk bercerita, dan menjaga kedekatan meski sibuk.
Baca Juga:Â Komunikasi dalam Keluarga: Kunci Hubungan yang Harmonis
Suara Remaja, Orang Tua, dan Psikolog
Dari sudut pandang remaja, Aisha Tiara Pratiwi, siswi SMK Negeri 63 Jakarta Selatan, memaparkan hasil survei teman sebayanya. Masalah yang sering muncul antara lain kurangnya waktu bersama, takut dihakimi saat bercerita, hingga orang tua yang terlalu dominan dalam percakapan. Harapan mereka sederhana: waktu berkualitas, didengar tanpa dipotong, saling memahami, dan orang tua yang lebih open-minded.
Dari perspektif orang tua, Hermann J. Mokalu (Yosi P. Project) mengingatkan bahwa digitalisasi sudah menjadi habitat generasi muda. Nilai kesabaran dan proses makin sulit dialami, dan komunikasi mudah terganggu perbedaan gaya bahasa. Solusinya, orang tua perlu menyambungkan bahasa komunikasi, memberi edukasi nilai dengan cara yang mereka mengerti, dan mengatur waktu agar keluarga tetap menjadi prioritas.
Sedangkan Johana Rosalina K., Ph.D., psikolog, menekankan bahwa remaja berada di fase perubahan besar: fisik, kognitif, dan emosional yang membuat mereka rawan kebingungan. Paparan media sosial menambah beban, memicu kebingungan identitas, bahkan stres. Ia mengajak orang tua menerapkan positive parenting: membangun hubungan kuat, komunikasi demokratis, disiplin positif, dan memberi contoh nyata. “Disiplin positif bukan tentang menundukkan anak, melainkan membantu mereka mengembangkan kekuatan diri dan tanggung jawab,” tegasnya.
Lebih dari Sekadar Kelas
Kelas Orang Tua Bersahaja bukan sekadar seminar. Ini adalah ruang refleksi bersama, tempat orang tua belajar memahami pola asuh yang sehat, menghindari pola asuh toksik, dan merancang strategi komunikasi keluarga yang realistis di tengah kesibukan.
Membangun komunikasi yang selaras dengan remaja memang bukan pekerjaan sehari jadi. Ia adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran, kepekaan, dan komitmen. Dengan memahami kebutuhan remaja, membuka ruang dialog tanpa menghakimi, serta hadir secara fisik dan emosional, orang tua menanamkan rasa aman yang akan anak bawa seumur hidup.
Baca Juga:Â Kunci Keharmonisan Keluarga
Semoga gerakan ini terus tumbuh, melampaui dinding auditorium dan ruang Zoom, menjadi budaya di setiap rumah, budaya yang memelihara kedekatan, menumbuhkan rasa percaya, dan memperkuat ikatan antara orang tua dan anak. Sebab, ketika keluarga kuat, bangsa pun akan tangguh.