Toxic Positivity: Kalau Semua Harus Baik-Baik Saja, Kapan Kita Boleh Jujur?

Cover - Toxic Positivity Kalau Semua Harus Baik-Baik Saja, Kapan Kita Boleh Jujur

Table of Contents

Athiyyah Khoirunnisaa – Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera Universitas YARSI

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin pernah mendengar kalimat seperti, “Semangat ya, kamu harus tetap kuat” atau “Kamu harus tetap bersyukur.” Sekilas terdengar penuh dukungan, namun dalam konteks yang salah, ucapan-ucapan seperti ini bisa menjadi bentuk dari toxic positivity. Apa Itu Toxic Positivity? Toxic positivity adalah kepercayaan akan konsep positif yang berlebihan, menuntut seseorang untuk selalu positif di segala keadaan dan mengabaikan emosi negatif seseorang dan juga bentuk respons motivasi yang tidak tepat, yang muncul dari keinginan untuk menyemangati orang lain namun justru menimbulkan dampak sebaliknya. Individu yang sedang mengalami kesedihan atau tekanan justru merasa tidak dipahami, marah, bahkan kecewa saat mendapat tanggapan yang mengabaikan kondisi emosional mereka. Fenomena ini juga banyak ditemukan dalam hubungan sosial, baik antar teman, keluarga, hingga dalam dunia pendidikan, di mana ungkapan bernada positif kerap digunakan secara tidak sesuai dengan situasi emosional yang sebenarnya dialami seseorang dan diucapkan tanpa empati. Misalnya, orang baru saja kehilangan orang tua, tapi malah dikatakan “yang sabar ya, mungkin ini yang terbaik”. Walaupun maksudnya ingin menyemangati, kalimat seperti itu justru bisa membuat orang merasa tidak dimengerti dan tidak punya ruang untuk merasakan emosi mereka secara jujur. Menurut penelitian, toxic positivity terjadi karena adanya dorongan untuk “terlihat kuat” dan “tidak boleh lemah”. Padahal, sebagai manusia, wajar dan sehat kalau kita juga merasa sedih, kecewa, takut, atau marah.

Baca Juga: Waspada Hubungan Toxic! 5 Kiat Membangun Hubungan Bahagia

Toxic positivity dapat berasal dari dua arah, yaitu internal dan eksternal. Secara internal, seseorang mungkin merasa harus tampil kuat demi menjaga citra diri atau karena takut dianggap lemah jika menunjukkan emosi negatif. Sementara secara eksternal, toxic positivity bisa muncul dari orang lain yang tidak memahami situasi emosional seseorang, atau sekadar mengulang-ulang pola komunikasi “positif” yang mereka anggap bijak. Ironisnya, banyak pelaku toxic positivity justru memiliki niat baik ingin memberi dukungan, tapi karena kurangnya pemahaman emosional dan empati, kata-kata seperti “jangan menyerah” atau “ambil sisi positifnya saja” justru memperdalam luka batin, terutama jika disampaikan tanpa sensitivitas terhadap apa yang sedang dirasakan oleh lawan bicara.

Berdasarkan temuan dari berbagai studi, toxic positivity dapat menimbulkan berbagai dampak, seperti penekanan emosi negatif yang berulang-ulang, rasa terisolasi dan tidak dimengerti, munculnya gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, hingga keinginan menyakiti diri sendiri, dan gangguan fisik, seperti sesak napas, gangguan tidur, atau tekanan darah tinggi akibat stres berkepanjangan.

BACA JUGA ARTIKEL  Kenali Vaginismus yang Mungkin Terjadi di Malam Pertama

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

  1. Sadari bahwa semua emosi itu benar adanya (Validasi Emosi)
    Sedih, marah, kecewa, takut adalah perasaan yang normal dan manusiawi. Mengalami emosi negatif bukan berarti kamu lemah, tapi justru menunjukkan bahwa kamu manusia yang hidup dan punya hati.
  2. Berikan ruang untuk merasakan
    Daripada langsung bilang “Semangat ya!”, coba katakan, “Aku ngerti ini pasti berat. Kalau mau cerita, aku siap dengerin.”
  3. Jangan membandingkan masalah
    Setiap orang punya perjuangannya sendiri. Mengatakan “Yang lain lebih parah kok” hanya akan membuat orang merasa masalahnya tidak penting.
  4. Belajar empati
    Kadang, yang dibutuhkan bukan solusi, tapi teman yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.

Baca Juga: Membangun dan Memelihara Pertemanan yang Sehat

Dalam hidup, kita tidak harus selalu terlihat kuat, tidak apa-apa kalau sedang tidak baik-baik saja. Merasa sedih atau kecewa bukan berarti kita itu lemah, tapi tanda bahwa kita adalah manusia. Mulai sekarang marilah kita lebih peka terhadap perasaan diri sendiri maupun orang lain. Bukan dengan memaksakan senyum, tapi dengan memberi ruang untuk jujur dan pulih. Karena kadang, kata-kata yang paling menyembuhkan bukan “semangat!”, tapi “aku di sini kalau kamu butuh.”

 

Referensi
Geaby, M. G. R., & Wibowo, D. H. (2021). Toxic positivity: Sisi lain dari konsep untuk selalu positif dalam segala kondisi. Psychopreneur Journal, 6(1), 10–25. https://doi.org/10.24198/psychopreneur.v6i1.10-25

Putra, R. P., Ramadhanti, A., Rahajeng, A. S., Fadil, A., & Salsyabila, N. (2023). Toxic positivity in adolescents: An attitude of always being positive in every situation. Journal of Psychology and Instruction, 7(1), 11–21. https://doi.org/10.23887/jpai.v7i1.60616

Samha, A. C., Angelina, T., Ramadhona, Y., Sultari, M., Aziza, A., Hussuba, F., Putri, N. A., Munandar, H., Pasha, M. N., Anean, Z. P., Aini, N., Syahputri, Y., Rose, J. M., Andika, M. M., & Putri, R. T. (2022). Toxic positivity pada Generasi Z. Proceedings of the Conference on Psychology and Behavioral Sciences, 1(1), 90–94. http://proceedings.dokicti.org/index.php/CPBS/article/view/26

Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Artikel Ini?
+1
14
+1
6
+1
2
+1
0
Scroll to Top