Retno Dewanti
Penata KKB Ahli Muda
Memperingati Hari Keluarga Nasional ke-32, tersingkap satu kenyataan yang menggelisahkan: tidak sedikit anak di Indonesia tumbuh tanpa kelekatan emosional dengan ayahnya. Meski fisiknya ada, tak sedikit ayah yang absen secara psikologis. Fenomena ini dikenal sebagai fatherless.
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa 2% remaja usia 15–24 tahun mengalami gangguan kesehatan mental, dengan depresi sebagai gejala tertinggi. Banyak dari mereka hidup dalam ketidakhadiran figur ayah yang suportif. Psikolog dari UGM, Diana Setiyawati, menyebut, keterlibatan ayah yang rendah bisa berdampak pada kemampuan anak mengelola emosi dan membangun relasi sosial yang sehat. Anak-anak ini tumbuh dengan rasa kehilangan, kebingungan identitas, dan kesulitan mengelola emosi. Dalam banyak kasus, bukan karena ayah tak peduli tapi karena komunikasi yang tidak nyambung.
Ayah masa kini hidup di tengah dua tekanan besar: keberagaman budaya dalam rumah tangga, dan kesenjangan generasi dengan anak-anak digital native. Banyak keluarga di Indonesia adalah hasil pernikahan lintas budaya: Jawa-Minang, Batak-Bugis, Sunda-Aceh, dan lainnya. Tradisi dan cara mengungkapkan kasih sayang bisa sangat berbeda. Di sisi lain, anak-anak generasi Z dan Alpha tumbuh dalam dunia yang serba ekspresif, kritis, dan butuh komunikasi dua arah. Ayah yang dibesarkan dalam budaya “diam adalah emas”, kini harus belajar mendengar, berdialog, dan validasi perasaan. Di sinilah posisi ayah menjadi krusial. Bukan hanya sebagai kepala keluarga atau pencari nafkah, tetapi sebagai penjembatan budaya dan generasi.
Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-32 dengan tema “Dari Keluarga untuk Indonesia Maju”, kita diajak untuk menengok kembali peran strategis keluarga sebagai fondasi utama pembangunan bangsa. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Namun, dalam praktiknya, peran ayah dalam keluarga masih sering terabaikan. Ia hadir sebagai pencari nafkah, tapi tidak selalu hadir sebagai pendamping emosional anak. Padahal, di tengah perubahan zaman yang begitu cepat dengan pergeseran nilai, lonjakan teknologi, dan keberagaman budaya, peran ayah menjadi semakin krusial dan kompleks.
Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) yang diinisiasi oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN hadir sebagai inisiatif strategis. GATI tidak hanya mendorong kehadiran fisik ayah, tetapi juga mengajak para ayah untuk hadir secara emosional, reflektif, dan adaptif terhadap zaman. Gerakan ini diharapkan menjadi gerakan berbasis komunikasi dialogis, baik lintas usia maupun lintas budaya.
Mengapa lintas budaya? Karena keluarga Indonesia tidak hanya terdiri atas suami-istri dari suku yang sama, tetapi juga kian banyak keluarga hasil pernikahan lintas etnis dan agama. Sementara itu, lintas generasi menjadi tantangan tersendiri. Ayah generasi X atau baby boomer kerap mengalami kesenjangan komunikasi dengan anak-anak generasi Z atau Alpha yang tumbuh dalam kultur digital yang serba cepat dan terbuka.
Tiga teori komunikasi memberikan lensa untuk memahami ini. Pertama, Cross-Cultural Adaptation Theory dari Young Yun Kim, yang menggambarkan bagaimana individu termasuk ayah perlu beradaptasi dengan “budaya baru”, yakni cara berpikir dan berkomunikasi generasi anak. Ayah perlu beradaptasi dengan nilai pengasuhan pasangan dan anak yang berbeda budaya. Kedua, Anxiety/Uncertainty Management Theory dari William Gudykunst, yang menjelaskan bahwa kecemasan dan ketidakpastian komunikasi bisa dikelola jika ayah mengembangkan komunikasi yang mindful dan terbuka. Ayah dan anak sering canggung dan ragu dalam berkomunikasi karena beda gaya. Ketiga, Intergenerational Communication Theory dari Howard Giles dan Harwood, yang menekankan pentingnya strategi akomodatif agar tidak terjadi jarak atau konflik antargenerasi. Tanpa keterampilan menyelaraskan nilai antar generasi, relasi akan dingin atau penuh salah paham.
Ayah masa kini bukan lagi sosok otoriter yang semua perkataannya harus dituruti. Ia harus belajar menyimak, merangkul, dan mengajak berdialog. Ia perlu mengembangkan kecerdasan emosional, literasi digital, serta kemampuan mendengarkan yang aktif. GATI bukan sekadar program simbolik, tapi ruang belajar lintas budaya dan generasi. Ada pendekatan “Dekat” di tingkat desa/kelurahan, “Sebaya” melalui sekolah, konseling digital lewat Satya Gatra dan SiapNikah, hingga komunitas ayah melalui Kompak Tenan. Diharapakan didesain untuk membantu ayah menavigasi tantangan komunikasi di era kini.
Menjadi ayah hari ini bukan hanya soal mencari nafkah. Tapi hadir secara utuh: mendengar, menyapa, memeluk, berdialog. Ayah perlu membongkar ulang warisan budaya pengasuhan yang menempatkannya hanya sebagai “kepala keluarga”, dan mulai membangun jembatan emosional dalam rumah.
GATI punya potensi menjadi ruang transformasi sosial selama tidak berhenti di spanduk dan seremoni. Ia perlu dikembangkan sebagai gerakan budaya yang membumi, menyentuh realitas lokal, dan menghidupkan refleksi antar generasi. Sekolah bersama ayah (Sebaya) perlu dirancang sebagai forum dialog, bukan sekadar datang dan kegiatan ceramah.
Komunitas ayah (Kompak Tenan) harus menjadi ruang berbagi dan tumbuh bersama, lintas usia dan nilai. Pendekatan berbasis digital melalui konseling daring di website Satya Gatra dan Siap Nikah diharapkan tidak hanya respons terhadap pola konsumsi informasi keluarga namun bergantung pada gaya bahasa, inklusivitas narasi, serta kemampuan untuk membangun kedekatan emosional meski secara daring. Dn pada pendeatan Dekat, menjembatani nilai pengasuhan dengan realitas lokal. Ini adalah bentuk mindful communication dalam praktik, sebagaimana dijelaskan Gudykunst. Komunikasi dilakukan melalui bahasa yang dimengerti warga, dengan menjembatani jarak antara teori dan praktik di komunitas.
Karena itu, memperkuat peran ayah bukan semata agenda normatif, melainkan investasi sosial jangka panjang. Dan di tengah keberagaman Indonesia dalam suku, nilai, dan generasi, GATI memberi kita harapan bahwa menjadi ayah yang hadir, adaptif, dan teladan bukan lagi cita-cita, tapi sebuah keniscayaan.
Momentum Hari Keluarga Nasional ke-32 mengingatkan kita untuk menegaskan kembali bahwa dari keluarga yang kuat akan lahir Indonesia yang maju. Dalam konteks ini, GATI memberi harapan nyata bahwa menjadi ayah yang hadir, adaptif, dan teladan bukan lagi cita-cita ideal, melainkan tanggung jawab bersama yang harus diwujudkan mulai dari rumah, mulai dari sekarang. Bukan hanya dengan waktu, tapi dengan hati dan telinga terbuka.
Referensi:
Gudykunst, W. B. 2005. Anxiety/Uncertainty Management Theory. In W. B. Gudykunst (Ed.), Theorizing About Intercultural Communication. Sage
Harwood, J. & Giles, H. (1995). Aging, communication, and intergroup theory: Social identity and intergenerational communication. dalam Handbook of the Psychology of Aging
Young Yun Kim. 2001. Becoming Intercultural: An Integrative Theory of Communication and Cross-Cultural Adaptation
Survei Kesehatan Indonesia, 2023. Laporan%20ski%202023%20dalam%20angka_Final.pdf
Unicef Indonesia, Indonesia:sejak pandemi dimulai, lebih dari 25.000 anak kehilangan orang tua akibat covid 19, 30, 2021.
https://www.unicef.org/indonesia/id/siaran-pers/indonesiasejak-pandemi-dimulai-lebih-dari-25000-anak-kehilangan-orang-tua-akibat-covid
https://www.kompas.com/edu/read/2023/05/23/102720471/dampak-fatherless-bagi-perkembangan-anak-menurut-psikolog-ugm?page=2