Ilustrasi pernikahan (Gambar oleh StockSnap dari Pixabay)

Tak ada yang bercita-cita cerai atau pisah setelah menikah. Namun, kadang takdir sering tak bisa diterima nalar. Seperti takdir yang harus dijalani FP. Pria 29 tahun itu menikah dengan seorang wanita yang dicintainya, namun setelah menikah barulah dia tahu istrinya tidak perawan dan ingin membatalkan pernikahan.

FP sebenarnya tidak keberatan jika istrinya tidak perawan, dia bisa menerima setiap orang pernah melakukan kesalahan. Namun, kenyataan pahit bahwa istrinya sudah hamil dengan lelaki lain diketahuinya saat bulan madu. Rasa dimanfaatkan oleh istri dan keluarganya membuatnya ingin membatalkan pernikahan. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.

Setelah mengetahui telah dibohongi dengan kenyataan yang tidak menyenangkan ini, masih ditambah lagi dengan permohonan istri dan keluarganya agar dia tidak menceraikan istri atau membatalkan pernikahannya. FP pun menyesal karena terburu-buru menikah.

Dr. Yudho Bawono, S.Psi., M.Si. – IPPI, tim ahli psikologi keluarga untuk Siapnikah.org menyampaikan pandangannya.
Untuk membangun kehidupan baru dengan seseorang diperlukan adanya suatu kepercayaan satu sama lain. Hubungan yang dibangun dari awal jika sudah tidak dilandasi dengan keterbukaan dan kejujuran akan menimbulkan ketidaknyamanan dalam menjalaninya. Merasa curiga dengan yang dilakukan oleh pasangan, merasa menyembunyikan sesuatu dari pasangan, dan sebagainya.

Perasaan marah karena merasa dibohongi dan “dipergunakan” untuk menutup aib keluarga adalah kewajaran. Seperti menelan buah simalakama, kecewa dan tidak bisa menerima anak dalam kandungan istri karena bukan anak sendiri membuat ingin membatalkan pernikahan. Namun di sisi lain, ada juga rasa kasihan dengan istri dan keluarganya.

Menghadapi pertentangan di dalam diri tersebut, ada 2 pilihan yang bisa dilakukan, antara lain:

1. Mengakhiri pernikahan dengan mengajukan cerai atau pembatalan nikah. Pilihan ini bisa membuat FP terbebas dari hal-hal yang tidak menyenangkan maupun kebohongan dan ketidakjujuran yang dilakukan oleh istri dan keluarganya.

2. Meneruskan pernikahan dan belajar menerima apapun kondisi istri. Kuncinya, bisa menerima sebagai bagian dari masa lalunya dan memaafkan ketidakjujurannya.
Pertimbangan lain yang harus dipikirkan adalah FP harus belajar menerima anak dalam kandungan istrinya sebagai anaknya sendiri.

Apapun keputusannya, harus didasari untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi ke depannya. Karena pernikahan adalah lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat anak belajar, dan berperan sebagai makhluk sosial. Jika orangtuanya belum selesai dengan persoalan pribadi, maka akan sulit menghadapi tantangan berkeluarga ke depan.

Perubahan sosial, ekonomi, kependudukan, perkembangan teknologi, dan informasi merupakan peluang sekaligus tantangan bagi keluarga. Pembangunan keluarga dilakukan melalui pendekatan siklus hidup manusia dari peningkatan kualitas anak, remaja, lansia, hingga kualitas lingkungan keluarga.
Jangan sampai persoalan orangtua membuat anak tidak bisa tumbuh kembang dengan maksimal.

Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Artikel Ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Tinggalkan Komentar