Tanya Tim Ahli: Saat ini saya dekat dengan teman yang janda. Dia bercerai setahun lalu karena suaminya sering KDRT. Dia belum punya anak dan saya ingin menikahi janda tersebut, tapi ada beberapa masalah.
Pertama, dia masih trauma nikah karena kasus KDRT- nya dulu. Dua, keluarga saya keberatan dengan statusnya yang seorang janda. Apa yang sebaiknya saya lakukan ya? Makasih. (FZ)
Tim Ahli* Menjawab:
(*Emeldah Suwandi, M. Psi., Psikolog) Salam FZ. Kami coba bahas satu persatu ya. Yang pertama mengenai trauma yang dialami pasangannya karena kasus KDRT yang dahulu.
Ketika kita bicara mengenai dampak traumatis yang dialami seseorang, kita perlu tahu sejauh mana hal ini mempengaruhi keadaan psikologis orang tersebut. Apakah trauma tersebut sampai menimbulkan gangguan-gangguan lainnya, seperti kesulitan tidur atau eating disorder. Jika iya, maka yang bersangkutan perlu penanganan lanjutan oleh profesional.
Kalau misalnya dampaknya adalah trust issue, maka sebagai orang di luar penyintas KDRT, peranan FZ adalah dengan memahami apa yang dirasakan oleh dirinya. Perasaan dipahami adalah suatu perasaan yang sangat dibutuhkan oleh penyintas kasus KDRT. Setelah muncul perasaan dipahami, pelan-pelan biasanya akan muncul rasa percaya sedikit demi sedikit. Kenyamanan yang pelan-pelan dibina dapat membuat dia menjadi lebih terbuka.
BACA JUGA: Tanya Tim Ahli: Bagaimana Cara Mengatasi Stress?
Setelah muncul keterbukaan, barulah dia dapat diajak berdiskusi. Ketika berdiskusi pun dengarkanlah sudut pandangnya terlebih dahulu, tanpa menggurui. Karena hal inilah yang paling dibutuhkan. Setelah ia cukup nyaman, berikan masukan dengan cara yang baik. Sadari bahwa semua ini membutuhkan proses bagi dirinya untuk pulih, dan coba berdamai dengan proses tersebut ya..
Pertanyaan kedua, mengenai keberatan keluarga dengan statusnya yang janda. Coba FZ ajak anggota keluarga berdiskusi mengenai hal ini ya. Coba dengarkan pandangan dari pihak keluarga. Pahami dari sudut pandang keluarga mengapa mereka kurang menyetujui. Tindakan memahami tidak sama dengan menyetujui. Jika ada yang belum sepaham, jelaskan pelan-pelan dengan cara yang bisa diterima.
Belajar memahami dapat membuat respon keluarga menjadi lebih lunak karena merasa dihargai. Perbedaan pendapat tidak perlu disingkapi dengan perdebatan. Ada kalanya kita perlu belajar untuk tidak sepakat dengan cara yang baik.
Disisi lain, sama seperti pertanyaan yang pertama, pahami dahulu bahwa semua hal membutuhkan proses ya. Termasuk dengan proses meyakinkan keluarga. Kuatkan dahulu pondasi hubungan antara FZ dan dirinya. Satukan visi dalam menjalani pernikahan kelak. Ketika pondasi hubungan antara FZ dan dirinya cukup kuat, barulah kenalkan ia. Sampaikan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya kepada keluarga.
Mudah-mudahan jika disingkapi dengan cara yang baik, lama kelamaan bisa ada penerimaan dari keluarga ya.
Saya janda anak 1 saya gagal pernikahan pertama karna suami saya sering nyakitin saya selingkuh,kdrt berbohong soal keuangan dan mertua saya menyuruh saya untuk cerai.. karna saya tertekan dan stres akhirnya saya membalas selingkuh juga dengan org lain.. status ya waktu itu saya masih suami istri .. namun karna setelah mertua menyuruh saya cerai akhirnya saya cerai dgn suami dan saya tetep menjalin hubungan dgn pacar saya sampai pada akhirnya saya menikah dgn ya .. sebelum menikah saya dan keluarga juga sdh menjelaskan dan menceritakan kalau saya punya anak yg trauma sikis karna sering melihat saya ribut dan melihat saya di pukul sma mantan suami .. dia pun mengiyakan san berjanji menganggap anak aq anak ya sendiri namun berjalan rumah tangga 1 tahun banyak perubahan yg saya dapat dari dia lbh muda emosi, marah, kasar sma anak daya dalam sikap dan bahasa.. jujur saya merasa tertekan dan bingung harus meneruskan rumah tangga ini atau harus pisah.. aq di satu sisi memikirkan sikis dan mental anak saya .. tlg bantu saya solusi ya seperti apa jujur batin saya tersiksa dan sakit
Hallo mbak Wanti, saya rasa bukan sebuah kebetulan saya melihat komentar mbak. Saya juga berpisah dengan segala trauma dan sakit, hanya saja memang belum ada anak. Mbak, sebelumnya mbak sudah merasakan sakit yang begitu luar biasa, kita gak bisa menggantungkan hidup kita kepada orang lain. Jika mbak bekerja dan mandiri saya rasa coba ditanya lagi ke diri mbak, apakah ini semua membuat mbak bahagia? karena nanti akan ada kepahitan tersendiri yang ditimbulkan dari apa yang mbak terus alami. bisa saja itu menyakiti diri sendiri dan juga cenderung menyakiti anak mbak secara langsung dan tidak langsung. Mbak Wanti layak berbahagia tapi ingat jangan gantungkan bahagia mbak pada orang lain karena mbak bisa kecewa. Saya tidak menyarankan untuk berpisah ataupun bertahan, tapi buatlah keputusan yang membuat mbak bisa lebih mencintai diri sendiri dan menghargainya sehingga mbak juga pasti juga akan memastikan anak mbak tumbuh menjadi orang lebih baik dan tidak merasakan apa yg kita rasakan. Mbak, kamu gak sendirian ada anakmu jika mbak butuh sebuah alasan. Tetap berserah dan berdoa minta petunjuk mana yang baik. tapi ingat ya mbak kamu pantas bahagia dan kamu juga seorang ibu yang berharga. terimakasih mbak sudah bertahan dan tetap kuat. tetap berdoa dan berharap ya mbak aku doakan yang terbaik untuk mbak.