Mengapa Generasi Berencana Anti Nikah Muda?

Table of Contents

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengembangkan Program Generasi Berencana (GenRe). Salah satu progam yang didorong GenRe adalah anti menikah muda. Memangnya kenapa sih kalau menikah muda? Kan saling cinta? Bahkan keluarga juga mendukung. Yuk cari tahu alasannya berikut ini.

Generasi Berencana adalah remaja (10-24 tahun) yang memiliki perencanaan dalam mempersiapkan dan melewati 5 transisi kehidupan remaja dengan mempraktikkan hidup bersih dan sehat, melanjutkan pendidikan, memulai berkarir, menjadi anggota masyarakat yang baik, serta membangung keluarga yang berkualitas.

Masa remaja adalah masa eksplorasi seksual dengan mengintregasikan seksualitas ke dalam indentitas seseorang. Para remaja memiliki rasa ingin tahu yang tidak ada habis-habisnya mengenai seks. Mereka bertanya-tanya, apakah mereka memiliki daya tarik seksual, bagaimana kehidupan seksual merkea di masa depan. Remaja sedang mengembangkan identitas seksual yang matang, dan selalu mengalami masa-masa dimana mereka merasa rentan dan bingung dengan perjalanan kehidupan seksualnya karena masa peralihan dari kanak-kanak ke tubuh orang dewasa.

Transisi ini ditandai dengan menstruasi pada remaja putri dan mimpi basah pada remaja putra. Prempuan yang sudah menstruasi berarti sudah memasuki masa pubertas,sudah menghasilka sel telur (ovum). JIka melakukan hubungan seksual (Meskipun Cuma sekali) dapat mengakibatkan kehamilan. Kehamilan bisa terjadi jika hubungan tersebut dilakukan dengan laki-laki yang sudah mengalami mimpi basah. Mimpi yang berujung pada keluarnya sperma merupakan pertanda laki-laki sudah memasuki pubertas sehingga sudah memproduksi sperma.

Jika tidak terjadi hubungan seksual, sperma akan keluar dengan sendirinya melalui mimpi basah. Biasanya mimpi basah terjadi pada remaja awal 10-12 tahun. Setelah memaski masa pubertas, remaja harus mengetahui resiko hubungan seksual agar tidak terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan tanpa perencanaan ini merugikan remaja. Perasaan bersalah menghantui, fisik belum siap hamil dampaknya bayi tidak bisa tumbuh kembang maksimal, Belum siap menikah, berhenti sekolah, akses pekerjaan terbatas, aborsi, dan rentan terkana penyakit menular seksual. Inilah resiko pernikahan dini yang perlu dihindari.

Dalam masa reproduksi perempuan, usia yang dianjurkan untuk kehamilan yang pertama adalah di atas usia 21 tahun. Oleh karena itu, dianjurkan perempuan menikah pada usia minimal 21 tahun dan laki-laki pada usia minimal 25 tahun. Apabila pasangan suami istri menikah pada usia di bawah 20 tahun, maka dianjurkan untuk menunda kehamilan sampai usia istri 20 tahun dengan menggunakan salah satu alat kontrasepsi. Hal ini yang dinamakan mengganti “bulan madu” menjadi “tahun madu.”

Perempuan yang menikah di usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi, serta rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar selama kehamilan atau melahirkan dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara yang usia 15-19 tahun kemungkinannya dua kali lebih besar (Bappenas, 2008). Risiko kesakitan dan kematian yang timbul selama proses kehamilan dan persalinan.

Pengambilan keputusan terkait seksualitas pada diri remaja melalui proses yang berlangsung lama yang melibatkan proses belajar mengelola perasaan-perasaan seksual, seperti gairah seksual dan perasaan tertarik, dan mempelajari ketrampilan mengatur perilaku seksual untuk menghindari kensekuansi-konsekuensi yang tidak diinginkan. Sehingga kematangan usia diperlukan sebagai syarat siap nikah.

Secara umum, remaja yang menikah di usia dini seringkali mengalami masalah perekonomian keluarga sebagai salah satu sumber ketidakharmonisan keluarga. Keluarga perlu memiliki penghasilan secara mandiri dan mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan keluarga.

Kesiapan psikologis sangat diperlukan dalam memasuki kehidupan perkawinan agar pasangan siap dan mampu menghadapi berbagai masalah yang timbul dengan cara yang bijak. Kesiapan psikologis diartikan sebagai kesiapan individu dalam menjalankan peran sebagai suami atau istri, meliputi pengetahuan tahuan akan tugasnya masing-masing dalam rumah tangga, kesiapan mental, perilaku, perasaan, pikiran, serta sikap seseorang.

Hal-hal tersebut sangat berpengaruh bagi pasangan dalam menjalankan peran sebagai suami atau istri. Perkawinan di usia muda dapat menimbulkan persoalan dalam rumah tangga. Emosi yang belum stabil memungkinkan banyaknya pertengkaran atau bentrokan yang berkelanjutan dan dapat mengancam kelangsungan rumah tangga dan berujung pada perceraian.

Kematangan emosi ini akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia. Selain kematangan emosi, kemampuan penyesuaian diri juga menjadi aspek psikologis yang penting dalam berumah tangga. Proses penyesuaian diri dapat terlihat dari adanya sikap saling menghargai dan mau berkorban untuk pasangannya. Hanya pasangan suami istri yang mampu melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan rumah tangga yang akan berhasil mewujudkan kehidupan rumah tangga yang diinginkannya.

Perkawinan di usia dewasa juga akan memberikan keuntungan dalam hal kesiapan psikologis. Semua bentuk kesiapan ini mendukung pasangan untuk dapat menjalankan peran baru dalam keluarga yang akan dibentuknya agar perkawinan yang dijalani selaras, stabil, dan pasangan dapat merasakan kepuasan dalam perkawinannya kelak. Itulah alasan mengapa GenRe anti nikah muda. Karena pernikahan adalah gerbang bagi generasi berikutnya, harus dipersiapkan sebaik-baiknya.

Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Artikel Ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
Scroll to Top