Setelah menikah, hal baru yang sangat dinantikan oleh pasangan adalah berhubungan suami istri. Kebutuhan biologis ini merupakan dorongan ilmiah yang wajar untuk orang dewasa untuk meneruskan keturunan. Frekuensi berhubungan suami istri bisa berbeda-beda setiap pasangan, lalu seberapa seringkah yang normal?
Frekuensi suami-istri melakukan hubungan seksual yang normal tidak ada hitungan bakunya. Semua berpulang pada kebutuhan dan kemampuan suami isti, karena hubungan intim amat bergantung pada mood atau suasana hati dan keinginan mereka. “Sepanjang keduanya berhasrat, sanggup melakukannya, dan sama-sama menikmatinya, kenapa tidak?” ujar dr Boyke Dian Nugraha, DSOG, MARS, dikutip dari Kompas.com.
Hubungan yang paling intim antara suami dan istri ini sebaiknya memang bersifat spontan, tanpa pernah diembel-embeli segala macam aturan atau bahkan dibuatkan jadwal ketat. Yang terpenting, tidak ada faktor pemaksaan dalam berhubungan seksual atau untuk memenuhi kewajiban belaka sehingga tak mencapai puncak kepuasan yang diinginkan kedua belah pihak.
Kendati tak ada pola baku, Boyke menganjurkan agar suami-istri berintim-intim secara teratur 1-4 kali seminggu. Pertimbangannya, frekuensi tersebut sesuai ritme tubuh atau kondisi fisiologis pria maupun wanita. “Produksi sperma oleh buah zakar boleh dibilang sudah memenuhi kuota penampungan dalam kurun waktu tiga hari. Nah, kalau bisa mengikuti ritme fisiologis tersebut, kan bagus. Apalagi lantaran produksi ini memang harus dikeluarkan secara teratur sesuai waktu atau batas kuota alamiah tadi,” jelasnya.
Untuk wanita, kondisi fisiologisnya memungkinkan kaum hawa merasakan kenikmatan hubungan seksual selama seminggu. Dengan pola 1-4 kali seminggu, organ-organ tubuh wanita maupun mendapat kesempatan “beristirahat sejenak”. Terlalu sering dan terlalu banyak berhubungan seksual memiliki dampaknya sendiri-sendiri.
Frekuensi yang minim, misalnya, akan memancing suami-istri jadi gampang uring-uringan; hanya karena sebab sepele bisa meledak jadi masalah besar. Bisa juga suami atau istri kerap pasang muka cemberut atau tampak murung. Akibatnya, badan terasa lemas dan hidup pun jadi terasa tak memberi gairah. Padahal, bentuk-bentuk emosi tersebut sebetulnya merupakan reaksi tubuh lantaran energi yang dihasilkan tiap hari tak termanfaatkan secara optimal.
BACA JUGA:
- Berani Lakukan Seks Pra Nikah? Bersiaplah Menerima Risiko Ini
- Remaja Pria Lebih Rentan Memulai Hubungan Seksual Pra Nikah
- Tanya Tim Ahli: Mitos atau Fakta Seputar Hubungan Seksual
Frekuensi yang terlalu sering, misalnya 6-8 kali seminggu, membuat energi kita terkuras habis sehingga badan jadi loyo. Terlebih pada pria, hal ini terasakan sekali. Soalnya, di dalam sperma terkandung berbagai protein, asam amino, dan asam esensial lainnya. Jika tak diimbangi dengan cukup istirahat dan asupan makanan bergizi tinggi, energi dan waktu akan hanya untuk urusan ranjang.
Intinya, jangan memaksakan diri. Sesuaikan kemampuan diri maupun pasangan. Frekuensi hubungan seksual yang terjaga secara teratur ini juga memberi manfaat lain, di antaranya membuat kita tampak fresh, lebih sehat, awet muda , dan ceria. Sebabnya, berbarengan dengan orgasme, otot-otot tubuh akan mengalami relaksasi.
Nah, saat mengalami relaksasi itulah, tubuh mengeluarkan endorfin, sejenis morfin fisiologis yang memberikan kenikmatan sekaligus pelepasan ketegangan pada seluruh otot tubuh. Makin sering endorfin dikeluarkan, makin berkurang pula beban ketegangan otot tubuh sehingga makin sehatlah kondisi tubuh yang bersangkutan.
Terapkan Kontrasepsi
Selain mengatur frekuensi hubungan suami istri yang ideal, kamu juga wajib untuk menerapkan kontrasepsi untuk mengatur kehamilan. Jangan sampai 3T yaitu terlalu muda, terlalu dekat, dan terlalu tua hamil terjadi pada istri. Kehamilan harus direncanakan dengan baik agar bisa memberikan piilhan terbaik untuk calon anak.
Idealnya, jarak kehamilan minimal adalah 2 tahun. Dengan jarak ini maka ibu memiliki kesempatan jeda melahirkan selama 3 tahun. Jarak kehamilan yang terlalu dekat juga memicu risiko bagi ibu. Sebab, setelah melahirkan, rahim perlu waktu untuk bersiap sebelum menjalani kehamilan berikutnya. Sebaiknya, jarak minimal kehamilan adalah 30 bulan atau 2,5 tahun. Selain persiapan rahim, juga agar ibu punya kesempatan untuk menyusui bayi selama 2 tahun.
Jarak kehamilan terlalu dekat bisa meningkatkan resiko kehamilan bahkan menyebabkan kematian pada ibu dan janin. Risiko yang membayangi ibu hamil adalah plasenta abrupsi. Plasenta abrupsi adalah kondisi dimana terlepasnya plasenta dari rahim sebelum janin dilahirkan, dan kondisi ini dapat menyebabkan kematian janin. Kenapa demikian? karena plasenta itu ada organ yang menyediakan makanan bagi janin ketika masih di dalam rahim.
Risiko lainya yaitu menempelnya plasenta menutupi sebagian atau seluruh serviks, dalam istilah medisnya disebut plasenta previa, apakah berbahaya? ya bisa jadi sangat berbahaya, jika si ibu mengalami pendarahan di usia kehamilan tua patut diwaspadai, mungkin ini adalah plasenta previa.
Ibu juga perlu waktu untuk menyiapkan kondisi psikologis ibu yang mengalami trauma pasca melahirkan karena rasa sakit saat melahirkan atau saat dijahit. Ibu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat wanita siap lagi untuk hamil dan melahirkan.
Dengan kehamilan yang terencanakan, ibu tidak merasa stress karena bisa mengasuh anak dengan tenang dan fokus. Bayangkan jika anak pertama masih balita, kemudian ibu hamil kembali. Ibu harus mendampingi tumbuh kembang anak ditambah mempersiapkan kelahiran anak kedua. Tentu ibu akan mudah lelah dan stress.
Memberikan jarak usia antar satu anak dengan anak selanjutnya juga bisa mencegah terjadinya stunting. Anak stunting sendiri bisa terjadi karena anak kurang mendapat asupan gizi seimbang termasuk ASI atau Air Susu Ibu. Dengan memberi jeda kehamilan, orangtua bisa fokus memberikan kasih sayang dan memberi nutrisi terbaik kepada anak hingga dua tahun.
Selain risiko kesehatan bagi ibu dan anak, kehamilan dengan jarak yang terlalu dekat juga memunculkan permasalahan finansial baru bagi keluarga. Beban kehamilan yang baru dan tidak direncanakan akan menambah biaya pengelolaan keuangan. Karena itu, memberi jarak kelahiran adalah sebuah keharusan. Sering berhubungan suami istri, boleh. Tetapi sering hamil, jangan.