Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melaporkan angka stunting selama masa pandemi COVID-19 naik menjadi 32 persen. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena akan berpengaruh pada masa depan Indonesia.
World Health Organization (WHO) menyatakan penyebab stunting sangat kompleks karena melibatkan berbagai sektor di sebuah negara. Selain itu, stunting juga bisa menjadi indikator dari pertumbuhan ekonomi politik, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, pertanian dan sistem pangan, serta kondisi lingkungan hidup di sebuah negara.
Banyak balita yang kurus selama pandemi ini kemudian menjadi stunting. “Memang para ahli mengatakan stunting naik sampai 32,5 persen,” ujar Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) DR. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K).
Kondisi itu akan berpengaruh terhadap kurangnya perawatan rumah tangga, makanan pendamping ASI yang kurang memadai, pemberian ASI kurang maksimal, dan terjadinya infeksi terhadap anak di sebuah negara.
Presiden Joko Widodo bahkan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting. Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, stunting bisa dideteksi secara dini. Yakni sejak dalam kandungan. Caranya, bagi bidan di daerah terpencil mengukur lingkar atau tinggi perut ibu hamil.
“Bisa dideteksi (Sejak dini), sebenarnya bidan dilatih, janin tumbuh lambat caranya mengukur tinggi perut ibu hamil,” kata Hasto dalam jumpa pers virtual, Jakarta, Jumat, 3 September.
Untuk itu, pengecekan ibu hamil harus dilakukan secara berkala. Tujuannya untuk mengetahui perkembangan janin di dalam perut. Nah semua bidan sudah dibekali mengenai pemeriksaan janin.
“Misal hamil 20 minggu berapa tingginya. Itu sudah diajari bidannya. Kalau di kota pakai USG. Kalau hamil 28 minggu beratnya harus berapa kilo, kalau kurang stunting,” katanya.
Anemia pada ibu hamil juga bisa meningkatkan resiko stunting pada bayi baru lahir. Makin muda usia ibu saat hamil dan melahirkan, makin besar kemungkinannya untuk melahirkan anak yang stunting. Kemudian menurutnya Ibu dengan anemia dan keterpaparan terhadap asap rokok juga memiliki dampak pada gangguan kehamilan dan janin.
“Anemia dikalangan remaja putri masih sangat tinggi di angka 48 persen, kemudian anemia akan semakin berpengaruh apabila remaja tersebut menikah dan hamil. Remaja putri usia dibawah 16 tahun yang sudah menikah dan hamil memiliki risiko yang sangat tinggi untuk kesehatannya dan tentu berakibat juga pada bayi yang dikandung,” tegas Dokter Hasto.
Menurutnya dalam setahun rata-rata ada sekitar 2 juta pernikahan apabila bisa melakukan hal tersebut sangat membantu percepatan penurunan stunting. Dokter Hasto juga menyoroti tentang pembagian tablet tambah darah yang sudah dilakukan menurutnya belum terlalu berhasil. “Sangat tidak mudah mengajak remaja untuk mau minum tablet tambah darah,” ungkapnya.
Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Artikel Ini?
+1
+1
+1
+1