Data Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan, prevalensi balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6 persen. Ini di atas batasan yang ditetapkan WHO (20 persen).
Stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Stunting membuat anak lebih pendek atau perawakan pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Umumnya, ini disebabkan asupan makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Faktor lingkungan yang berperan dalam menyebabkan perawakan pendek antara lain status gizi ibu, tidak cukup protein dalam proporsi total asupan kalori, pola pemberian makan kepada anak, kebersihan lingkungan, dan angka kejadian infeksi di awal kehidupan seorang anak.
Selain faktor lingkungan, juga dapat disebabkan oleh faktor genetik dan hormonal. Akan tetapi, sebagian besar perawakan pendek disebabkan oleh malnutrisi.
Tahun 2015, Indonesia tertinggi ke-2 di bawah Laos untuk jumlah anak stunting. Indonesia merupakan negara nomor empat dengan angka stunting tertinggi di dunia. Lebih kurang sebanyak 9 juta atau 37 persen balita Indonesia mengalami stunting (kerdil).
Kita tentu ingin kondisi ini membaik. Karena itu, tahun 2024, Indonesia menargetkan angka stunting turun menjadi 14 persen. Perjuangan untuk mencapai target tersebut sudah dimulai dari sekarang.
Edukasi Calon Pengantin
Salah satu usaha yang dilakukan BKKBN adalah memberikan edukasi kepada calon pengantin tentang pentingnya merencanakan kehamilan dengan baik untuk mencegah stunting.
“Kalau targetnya tahun 2024 artinya kehamilannya belum terjadi. Kita bisa ‘tangkap’ calon pengantin yang akan hamil pada tahun 2024 untuk kita beri pendampingan nustrisi dan ASI yang benar. Banyak orang mau mengeluarkan banyak uang untuk pre-wedding, tapi untuk beli azam folat dan zinc untuk sprema tidak dibeli. Padahal harganya murah. Jadi, ini bukan karena masyarakat tidak punya uang untuk membeli vitamin dan nutrisi, tapi karena kesadarannya belum ada. Banyak di antara masyarakat yang belum paham, itu masalahnya,” ujar Kepada BKKBN DR. (H.C) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K).
Hasto menambahkan, ibu-ibu muda penting sekali untuk paham siap nikah paham stunting. “Karena dalam satu tahun ada dua juta pernikahan yang tercatat negara, 80 persennya hamil di tahun pertama. Orang yang hamil ini sekitar 1.600.000 pasangan yang bakal melahirkan anak pada tahun depan. Jadi, kalau ingin menurunkan angka stunting di 2024 menjadi 14 persen, calon orangtua harus diberi pemahanan yang benar,” imbuhnya.
Ibu baru harus paham ASI berperan dalam mengelola jarak kehamilan untuk mencegah stunting, dari sejak hamil. “Saya sering membantu persalinan, ibu yang melahirkan belum tahu pentingnya ASI. Juga bagaimana menyusui dengan adil kiri kanan supaya tidak bengkak dan sakit. Ini tugas kita untuk memberi pendampingan,” jelasnya.
BKKBN memberikan dukungan penuh untuk penyuluhan tentang pentingnya ASI esklusif dan MPASI yang benar. “Breast feeding, spasing, stunting, 3-ing ini berkaitan erat. Saat memberikan ASI, terjadi ketidaksuburan. Ini luar biasa bahwa untuk kontrasepsi bisa dengan ASI supaya bisa memberi jarak kelahiran atau spasing. Autisme juga sangat erat hubungannya dengan ASI dan jarak kehamilan. Ketika jarak melahirkan bagus, minimal 3 tahun, tidak ada kekurangan nutrisi, sehingga tidak stunting,” kata dr. Hasto.
BACA JUGA:
- Barang-barang yang Harus Dipenuhi Pengantin Baru
- 5 Hal yang Wajib Diketahui Pengantin Baru
- Duh, Jangan Sampai Biaya Resepsi Membuatmu Batal Menikah
Untuk mencegah stunting, konsumsi protein sangat mempengaruhi pertambahan tinggi dan berat badan anak di atas 6 bulan. Anak yang mendapat asupan protein 15 persen dari total asupan kalori yang dibutuhkan terbukti memiliki badan lebih tinggi dibanding anak dengan asupan protein 7,5 persen dari total asupan kalori. Anak usia 6 sampai 12 bulan dianjurkan mengonsumsi protein harian sebanyak 1,2 g/kg berat badan. Sementara anak usia 1–3 tahun membutuhkan protein harian sebesar 1,05 g/kg berat badan.
“Saya suka bercanda, kan setelah anak berusia 24 bulan bisa bicara papa mama. Ketika anak sudah bisa memanggil papa, bolehlah papanya memanggil-manggil mama untuk merencanakan hamil lagi,” paparnya.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI, dr. Kirana Pritasari mengamini pernyataan dr. Hasto Wardoyo tersebut. “Persiapan ibu menyusui harus dimulai sejak ibu hamil. Konseling dengan tenaga kesehatan ketika hamil. Saat persalinan bisa dibantu untuk inisiasi menyusui dini, satu jam pertama dilekatkan pada ibu,” katanya.
Kelas ibu hamil, persiapan menjelang persalinan, menyusui bisa didapatkan di Puskesmas terdekat. Semua tenaga kesehatan di Puskesmas yang dilatih sudah siap mendampingi itu. “Setelah melahirkan, ibu harus selalu sehat. Selama pemeriksaan dilihat ibu berhasil menyusui atau tidak, apakah pelekatannya berlangsung dengan baik, kalau lecet bagaimana mengatasinya, peran bapak dalam pendampingan ibu menyusui bisa dipelajari sebelum melahirkan,” jelas dr Kirana. Pendampingan yang baik akan mencegah stunting.