Remaja

Banyak orang tua kaget. Anaknya yang dulu manis, tiba-tiba menjadi liar saat remaja. Apalagi, jika orang tua sibuk dengan pekerjaan sehingga tak memperhatikan perubahan-perubahan pada sang anak remaja.

Masa remaja memang sangat menantang. Kamu yang saat ini remaja, atau yang dulu pernah melalui masa remaja, pasti geleng-geleng kepala ketika mengingat kelakuan-kelakuan “gila” dan berisiko yang dulu dilakukan saat remaja.

Secara fisik, remaja memang tumbuh semakin kuat dibanding anak-anak. Namun, tingkat potensi cidera bahkan kematian naik 200 persen dibanding masa anak-anak.

Kenapa remaja suka melakukan hal-hal liar yang berisiko? Ternyata, secara alamiah, saat remaja, otak bekerja dengan cara yang berbeda dibanding otak orang dewasa. Karena itulah, remaja dan orang tua sering tidak nyambung.

Masa Labil 10 Tahun

Direktur Institute of Human Development di University of California, Berkeley, Prof. Ronald E. Dahl menyebut, banyak remaja kesulitan mengontrol emosi dan perilaku. Karenanya, remaja terpapar risiko lebih besar, mulai dari cidera, bunuh diri, depresi, minuman alkohol, konsumsi, kekerasan, hingga narkoba.

Di era informasi, paparan risiko itu menjadi lebih kuat karena remaja bisa mudah mendapatkan pengaruh dari media sosial. Dahl mengatakan, gabungan riset-riset yang dilakukan psikolog dalam kurun waktu 150 tahun terakhir menunjukkan, secara biologis, sosial, dan kultural, remaja mengalami perubahan signifikan.

Dari ukuran fisik, pertumbuhan remaja kini lebih cepat karena asupan nutrisi yang lebih baik. Demikian pula pubertas atau kematangan seksual terjadi lebih awal.

Namun yang paling menarik adalah, periode masa remaja saat ini lebih panjang. Dahulu, masa remaja berlangsung selama 2-4 tahun, di sekitar usia 12-16 tahun.

Saat ini, berdasar proses pubertas, perkembangan sistem otak, hingga perilaku sosial, periode remaja sekarang bisa berlangsung sampai 10 tahun, dari kisaran usia 11-20 tahun. Artinya, remaja zaman sekarang harus menghadapi periode labil lebih lama. Itu berarti pula, remaja berada pada konsisi terpapar risiko lebih lama.

Baca Juga: Hubungan Kebiasaan Mandi dan Kemampuan Kepemimpinan Anak

Pencari Sensasi

Beberapa riset menunjukkan, keinginan mencari sensasi (sensation seeking) meningkat pada usia remaja. Sensasi apa saja. Bolos sekolah, kebut-kebutan di jalan, tawuran, merokok, minuman keras, narkoba, hingga pergaulan bebas.

Ternyata, itu terkait tahapan perkembangan sistem otak di masa remaja. Saat ada stimulasi yang bisa memantik emosi, otak bekerja dalam dua jalur.

Jalur pertama adalah sistem Limbic yang lebih reaktif. Jalur kedua adalah Prefrontal Cortex yang berperan menganalisis informasi dengan lebih komprehensif, sehingga tindakan bisa lebih terkontrol.

Secara alamiah, stimulus pesan ke Limbic bergerak lebih cepat sepersekian milidetik dibanding pesan yang dikirim ke Prefrontal Cortex. Sehingga, terkadang yang muncul terlebih dahulu adalah reaksi impulsif.

Selain itu, pada masa remaja, sistem Limbic juga berkembang lebih cepat dibanding perkembangan Prefrontal Cortex. Disparitas atau gap itulah yang membuat remaja cenderung lebih impulsif dan berani melakukan hal-hal berisiko.

Karenanya, di masa remaja, senggolan sedikit saja bisa berujung baku hantam. Tatapan sinis atau suara ejekan bisa memicu tawuran. Sindiran kata-kata “Cemen” atau “Penakut” bisa menghasut remaja menenggak miras , mencicip narkoba, hingga seks bebas.

Peran Orang Tua

Sangat penting bagi remaja untuk memahami apa yang terjadi di dalam dirinya. Agar bisa lebih mengontrol diri. Tapi, lebih penting lagi peran orang tua.

Setelah mengetahui perbedaan cara kerja otak remaja, sikap marah-marah hanya akan membuat remaja semakin menjauh dan melawan. Orang tua harus paham bahwa yang dihadapi adalah makhluk yang cara pikirnya berbeda. Jadi, tidak bisa dipaksa untuk berpikir sama dengan orang dewasa.

Sempatkan waktu lebih banyak untuk berkomunikasi dengan anak di masa remaja. Perhatikan aktivitasnya, kenali teman-teman dan lingkungan pergaulannya, tanyakan apakah ada kendala di sekolah, dan lain sebagainya.

Meski tidak mudah, usahakan bisa berperan sebagai seorang sahabat. Jika ingin meluruskan perilaku, sampaikan dengan cara yang baik, tanpa marah-marah.

Bantu anak remaja menemukan kegiatan favorit yang bisa menjadi fokusnya. Misalnya, olahraga, fotografi, multimedia, menulis, bermusik, dan lainnya. Fokus pada hal positif akan membantu remaja memperkuat kontrol dirinya.

Semoga, pengetahuan di atas bisa membantu remaja dan orang tua untuk memahami cara berpikir masing-masing. Jangan lupa, baca artikel-artikel menarik dan bermanfaat lainnya seputar persiapan pernikahan, tips finansial, hingga parenting di website ini yaa. Follow juga akun media sosial siapnikah.org agar kamu mendapat informasi update-nya. (*)

Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Artikel Ini?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Tinggalkan Komentar