Mau Konsultasi Gratis dengan Pakar seputar Pernikahan dan Parenting? Baca Caranya Di Sini

Tanya Dr Hasto

Table of Contents

Membangun keluarga berkualitas yang sakinah menjadi mimpi tiap pasangan.  Sayangnya, mimpi belum tentu seindah kenyataan. Data-data menunjukkan, masih banyak tantangan besar yang menghadang.

Misalnya, tren angka perceraian yang naik, angka kematian ibu melahirkan yang masih tinggi, serta prevalensi balita stunting yang juga tinggi.

“Jika dirunut, salah satu faktor utamnya adalah ketidaksiapan pasangan saat memasuki pernikahan,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K).

Data menunjukkan, pada 2019 lalu, kasus perceraian mencapai 416.752. Naik dibanding tahun 2018 yang sebanyak 392.610. Dari jumlah itu, 52 persen pasangan mengaku bercerai karena “Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus” dan 27 persen karena masalah “Ekonomi”.

Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia juga masih sangat tinggi, di kisaran 305  kematian per 100 ribu kelahiran hidup. Demikian pula prevalensi balita stunting masih sebesar 27,7 persen pada 2019. Artinya, 1 dari 4 balita di Indonesia mengalami stunting.

Akibat Pernikahan Dini

Menurut Hasto, ketidaksiapan itu muncul karena banyaknya pasangan yang menikah di usia terlalu muda. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan, pada 2018 lalu ada 1,34 juta anak perempuan menikah di awah usia 18 tahun. Bahkan, 300 ribu diantaranya menikah di bawah usia 16 tahun.

Padahal, menurut Hasto, dari dimensi kesiapan umur, perempuan yang ingin menikah sebaiknya berusia minimal 21 tahun dan bagi laki-laki 25 tahun.

“Pasangan yang menikah di usia remaja belum siap secara fisik, mental, maupun finansial,” jelasnya.

Hasto menyebut, banyak yang belum tahu bahaya menikah dini. Misalnya, perempuan yang menikah terlalu muda lebih berisiko terkena kanker serviks karena organ reproduksinya belum matang. Demikian pula ukuran panggulnya masih sempit, sehingga lebih berisiko terjadi perdarahan saat melahirkan.

“Pengetahuan masyarakat tentang edukasi seksual dan kesehatan reproduksi memang masih kurang,” ucap dokter pakar bayi tabung tersebut.

Menurut Hasto, BKKBN tidak lagi hanya berkutat pada tugas sosialisasi tentang keluarga berencana (KB) atau pemakaian kontrasepsi, tapi juga mencakup bagaimana membangun keluarga berkualitas.

Kuncinya adalah memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana persiapan membangun keluarga. “Di dalamnya termasuk kesehatan reproduksi atau edukasi seksual, pengelolaan keuangan keluarga, serta parenting,” katanya.

Karena itulah, BKKBN mencoba menjangkau masyarakat melalui pengembangan website www.siapnikah.org mulai awal Mei 2020. Yang terbaru, BKKBN membuka layanan konsultasi gratis melalui rubrik Tanya Jawab di website ini. “Di masyarakat, masih banyak tercampur antara fakta dan mitos tentang edukasi seksual, kehamilan, serta parenting,” sebutnya.

Seputar Kehamilan

Isu kehamilah ternyata juga sangat diminati. Selain tips menjaga kehamilan sehat, tips perencanaan kehamilan juga sangat penting. Sebab, angka prevalensi infertilitas di Indonesia masih tinggi, 15-25 persen. Artinya, hampir seperempat pasangan di Indonesia mengalami kesulitan dalam kehamilan.

Karena itu, selain para pakar dari internal, BKKBN juga menggandeng tim ahli dari Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Himpunan Obstetri dan Ginekologi Sosial Indonesia (HOGSI), Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia, hingga Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia.

Selain melalui rubrik Tanya Jawab di website www.siapnikah.org, masyarakat juga bisa menyampaikan pertanyaan melalui akun media sosial Instagram @siapnikah_official dan Facebook @siapnikah.org. “Tujuan kami adalah edukasi, terutama untuk generasi muda dan pasangan muda, agar mempersiapkan dan merencanakan pernikahan dengan sebaik-baiknya,” pungkas Hasto.

Bagaimana Tanggapan Anda Tentang Artikel Ini?
+1
2
+1
2
+1
21
+1
6
Scroll to Top